Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Menelaah Kemampuan Bahasa Inggris Jokowi dan Prabowo

24 Desember 2018   12:56 Diperbarui: 24 Desember 2018   13:28 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Prabowo sedang berpidato. Sumber: Merdeka.com

Bahasan tentang Jokowi dan Prabowo menjadi topik hangat yang selalu ditelaah oleh kompasianer. Baik yang mendekati unsur "objektif" maupun yang dipenuhi unsur "subjektif" bahkan mereka mengait-ngaitkan dua tokoh ini dengan tokoh  atau peristiwa lain yang belum tentu kebenarannya. Hal ini adalah suatu kewajaran di tahun-tahun politis menjelang pilpres. Misalnya saja Prabowo yang dikait-kaitkan dengan rezim orde baru disertai narasi bahwa rezim orde baru adalah "monster" yang tengah tertidur dan siap bangkit untuk melumat bangsa ini. Padahal survei indo barometer sebagaimana yang dilansir oleh Tempo (lihat di sini) menyebutkan bahwa Soeharto merupakan presiden yang dinilai paling berhasil oleh masyarakat. 

Senada dengan itu, Kakek saya yang hidup di era Soekarno hingga SBY menyebutkan bahwa hidup petani lebih sejahtera dibandingkan dengan pegawai negeri di masa Soeharto. Lebih lanjut menurutnya, hasil penjualan kopi dan kayu manis perbulannya lebih tinggi daripada gaji seorang guru. Oleh sebab itu, di masa tersebut banyak orang yang lebih memilih berprofesi sebagai petani dibandingkan dengan menjadi PNS. Namun sekarang justru berlaku sebaliknya.

Lihat juga: Warisan Permasalahan Era Jokowi di Kota Solo yang Perlu Diketahui                    

Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa rezim orde baru tidak semenakutkan seperti apa yang dinarasikan oleh banyak penulis. Meskipun memang selama pemerintahannya Soeharto juga memiliki banyak kekurangan. Namun, saya kira  tiap rezim punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. 

Apa yang terjadi saat ini hanyalah permainan kata dari seorang penulis "politis" untuk menggiring  opini publik. Untuk menjatuhkan  lawan, tentunya para penulis politis ini akan mengaitkan paslon lawan dengan kekurangan dari rezim di masa lalu dengan cara "otak-atik, gatuk" tulisan, mengambil kutipan  sana-sini dan menyusunnya sedemikian rupa seolah-olah mereka memang saling terkait.

Oleh sebab itu saya kira, lebih baik membahas hal-hal yang memang secara empiris bisa diamati dari karakter dua tokoh calon presiden mendatang ini daripada mengait-ngaitkan mereka dengan hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan kemampuan mereka dalam memimpin, entah itu hubungan kerabat, kekeluargaan dan sebagainya. Kita mungkin lupa kisah Ibrahim, Muhammad, Nuh dan Luth yang di dalamnya dapat dipetik hikmah bahwa hubungan keluarga tidak mencerminkan kualitas pribadi seseorang.

Lihat juga: Sumbangsih  Prabowo dan Keluarganya dalam Membangun Budaya Bangsa

Untuk itu dalam tulisan kali ini saya akan membahas kemampuan bahasa Inggris dari kedua calon presiden. Kemampuan bahasa secara empiris dapat diamati dan memang melekat pada karakter seseorang. Bahkan kemampuan verbal dan bahasa  menjadi bagian dalam tes potensi akademik sebagai salah satu landasan untuk menilai intelegensi seseorang. Bagaimana dengan kemampuan bahasa Inggris Jokowi dan Prabowo?

Kemampuan Bahasa Inggris Jokowi dan Prabowo dalam pandangan Native Speaker

Adalah Sacha Stevenson, seorang native speaker dan Youtuber asal Kanada yang kerapkali membahas kemampuan bahasa Inggris para selebriti, tokoh politik bahkan para Presiden. Sacha sendiri telah lama menetap di Indonesia dan memiliki suami orang Indonesia. Dulu, Sacha juga kerap muncul dalam berbagai acara televisi bersama komedian Komeng dan Adul. 

Dalam unggahan videonya bertanggal 26 April 2018, Sacha membahas kemampuan bahasa Inggris  presiden-presiden Indonesia termasuk pula Jokowi (lihat di sini). Mula-mula Sacha memperdengarkan rekaman suara singkat pidato Jokowi berbahasa Inggis di menit ke 6:21 hingga menit 7:01.Kemudian ia mengomentari struktur kalimat dan pengucapan (pronounciation) Jokowi. Terlihat di sana bahwa banyak struktur kalimat dan pengucapannya yang salah, bahkan ada satu kata yang diucapkan dengan kesalahan sangat fatal oleh Jokowi yaitu kata "relationship" menjadi "relationshif". Namun untunglah teks pidato Jokowi sangat sederhana, bila dibandingkan dengan teks pidato Megawati yang ia tayangkan sebelumnya. Menurut Sacha, jika Jokowi yang membacakan teks pidato Megawati "sama saja kayak bencana alam". Di akhir komentarnya Sacha memberi penilaian terhadap kemampuan bahasa Inggris Jokowi "needs more practice" yang berarti Jokowi butuh banyak latihan lagi untuk meningkatkan kemampuannya. Unggahan video Sacha ini sudah ditonton sebanyak 892.094 kali dan disukai oleh sekitar 19 ribu penonton.

Lihat juga: Sawit, Jengkol dan Ide Jokowi                    

Sementara itu, ulasan tentang pidato Prabowo diunggah pada tanggal 24 Oktober 2018 (lihat di sini). Dalam video tersebut, ditayangkan rekaman suara Prabowo yang  berbicara dalam bahasa Inggris saat  diwawancarai oleh wartawan dari detik ke 0:35 hingga menit 1:27 . Karena kondisinya sedang diwawancarai maka besar kemungkinan  Prabowo berbicara tanpa menggunakan teks. Sacha berkomentar bahwa grammar Prabowo dalam bahasa Inggris nyaris sempurna. Meskipun beberapa kata yang dilafalkannya masih belum seperti native speaker. Secara garis besar ucapan Prabowo sangat baik, jelas dan bisa dimengerti oleh para native speaker. Di akhir komentarnya Sacha menyebutkan bahwa grammar Prabowo luar biasa, dan dalam masalah bahasa Inggris Prabowo adalah yang terbaik di antara politisi yang pernah ia bahas. "suka atau tidak politiknya tetap harus mengapresiasi kerja keras dia (Prabowo) dalam mempelajari bahasa Inggris", pungkas Sacha. Video ini sudah ditonton sebanyak 219.253 kali dan disukai oleh sekitar 6,5  ribu penonton sejak Oktober hingga sekarang.

Lihat juga: Menelaah Kembali Isi Pidato Prabowo Mengenai "Indonesia Punah"

Pentingnya Kemampuan Berbahasa Inggris

Banyak orang yang menilai bahwa untuk menjadi seorang Presiden tidak perlu pandai berbahasa Inggris, hal ini disetujui pula oleh Sacha. Namun bagi saya, presiden yang memiliki kemampuan dalam berbahasa Inggris tentu memiliki nilai tambah tersendiri terlebih di zaman sekarang. 

Seorang mahasiswa S1 saja dituntut harus memiliki sertifikat kemampuan bahasa Inggris dengan skor tertentu bila ingin di wisuda. Apalagi yang ingin melajutkan jenjang studi S2, S3 dan untuk memperoleh beasiswa semuanya mempersyaratkan sertifikat kemampuan bahasa Inggris dengan skor yang sangat tinggi. Pun begitu di perusahaan ternama mereka juga mempersyaratkan sertifikat bahasa Inggris. Banyak di antara teman-teman mahasiswan yang menghabiskan dana dan waktu mereka hanya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Ironis dan alangkah tidak adilnya, untuk jadi orang nomor satu di Indonesia kemampuan bahasa Inggris justru tidak dipersoalkan, hanya cukup bermodal didukung oleh partai politik tertentu serta memiliki kondisi jasmani dan rohani yang sehat.

Memang benar, mahasiswa tingkat lanjut meski memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni agar dapat memahami literatur dan teks-teks bahasa Inggris. Akan tetapi, bukankah kemampuan ini lebih urgen dimiliki seorang presiden?karena mereka secara langsung dan mau tidak mau terlibat dalam panggung internasional. Ada pula yang berkilah bahwa presiden dibantu oleh para translator handal, ia dapat memilih siapa saja untuk menjadi penerjemahnya.

Dalam hal ini, saya teringat dengan sebuah film historis yang berlatar masa-masa akhir kekaisaran Joseon. Di sana ditayangkan adegan mengenai Raja yang dengan begitu mudah ditipu oleh penerjemahnya. Sang penerjemah menyampaikan data dan informasi yang sengaja dikelirukan untuk memperlemah kekuasaan sang raja secara politis. Dengan demikian dalam kasus ini, kemampuan bahasa yang kurang juga turut berpengaruh terhadap  kekuasaan dan pengaruh politik Raja di mata lawan-lawannya. Kurangnya kemampuan bahasa tersebut menjadi alat yang dimainkan untuk mengendalikan sang raja oleh elit-elit politik di belakangnya. Di mana mereka didukung pula oleh bangsa asing yang siap mencengkram dan mengeksploitasi Joseon. Penuh intrik memang!

Namun demikian, banyak pula pemimpin negara-negara di dunia saat ini yang menampakkan "keengganannya" menggunakan bahasa Inggris. Erdogan misalnya, tidak pernah ia menggunakan bahasa Inggris dalam setiap kali kesempatan pidatonya baik di panggung nasional maupun internasional. Ia selalu menggunakan bahasa Turki. Entah karena ketidakmampuannya dalam berbahasa Inggris atau karena kecintaan dan rasa nasionalisme pada bangsanya? yang jelas Erdogan adalah sosok pemimpin yang dicintai oleh rakyat turki dan cukup berpengaruh di dunia Internasional. 

Di sisi lain, Jokowi justru memperlihatkan hal yang membingungkan rakyat. Di berbagai kesempatan berkelas Internasional, ia selalu menggunakan bahasa Inggris meskipun kemampuannya sangat kurang dan mungkin sulit dipahami oleh native speaker seperti Sacha Stevenson. Padahal ia tidak dituntut menggunakan bahasa Inggris. Ia bisa saja berpidato menggunakan bahasa Indonesia dan teks bahasa Inggrisnya dibacakan oleh para translator kepada audiens melalui headset dan semacamnya. Namun mengapa Jokowi tetap "kekeuh" menggunakan bahasa Inggris di  tengah kemampuannya yang kurang tersebut?tentu hal ini membuat publik dan rakyat seperti saya bertanya-tanya, ada apakah gerangan.

Terlepas dari itu semua, menjadi hak setiap oranglah untuk menilai dan memilih presiden yang dikehendakinya di masa mendatang. Salam damai!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun