Mohon tunggu...
Hafidh Frian Perdana
Hafidh Frian Perdana Mohon Tunggu... -

Sekedar berbagi apa yang ada di pikiran ini, Semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Pendidikan di Negeri Sendiri

2 Juli 2014   23:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Carut marut pendidikan di negeri ini sebenarnya sudah dirasakan oleh semua pihak. Guru sebagai pihak implementator sekaligus pengajar dan pendidik di sekolah juga sebenarnya tahu benar kebobrokan sistem yang dijalankannya. Dinas pendidikan atau bahkan Pak Menteri pun tahu akan ada hal yang salah di sistem pendidikan mengingat lulusan yang kurang berkualitas dan belum sejahteranya rakyat Indonesia hingga kini. Bahkan murid yang diajar dengan sistem ini merasa linglung seperti orang gila sendiri karena tak tahu sudah melakukan apa saja kala sekolah dulu dan sudah dapat apa saja kala menuntut ilmu di sekolah dulu. Apa lagi kalau bukan pendidikan biang keroknya? Entah itu, sistem pendidikan, pihak yang menjalankan pendidikan, atau muridnya sendiri yang kurang becus. Pasalnya pendidikan berperan sebagai salah satu long strategies untuk mengentasi kemiskinan yang merajalela.

Dari tadi kok menjelekkan sistem pendidikan di Indonesia, emang tidak ada baiknya apa? Kalem dulu, ada kok baiknya. Buktinnya siswa siswi Indonesia terlihat terhormat dan ditakuti kok di mata dunia tatkala ajang olimpiade mata pelajaran digelar. Tak jarang Indonesia membawa pulang piala tertinggi seperti juara satu olimpiade matematika dunia, kimia, biologi, fisika dan keilmuan lain. Banyak sekali prestasi yang ditorehkan siswa siswi nasional kok.

Nah masalah ini terletak di sini, kenapa Indonesia yang menang kompetisi internasional dalam hal pendidikan tak bisa berkata banyak di kanca internasional akan kejeniusan yang dimiliki. Kenapa negeri ini masih diremehkan oleh orang asing? Kenapa pula sumber daya alam di negeri ini tak bisa kita olah sendiri mengingat kita jago dalam keilmuan eksakta? Bahkan persaiangan dagang dengan negara asing pun kalah telak? Kemana pelajar yang dulunya juara di tingkat internasional tersebut?

Negara ini banyak orang cerdas, banyak orang pintar, banyak orang jenius tapi kemakmuran, kemandirian, ketahanan negeri tak kunjung tercapai. Ada apa gerangan?

Opiniku terbentuk karena aku telah menjalani sendiri, merasakan sendiri menjadi seorang pelajar di pelosok daerah yang tentu masih menganut sistem pendidikan yang Indonesia tetapkan. Di sinilah aku mulai berani bicara.

Bagiku sistem ini yang salah. Bukan kurikulum yang terus diubah, diperbaharui setiap beberapa tahun sekali yang seharusnya dilakukan. Sudah dipastikan pihak pelaksana proses belajar mengajar, murid dan guru, akan bingung beradaptasi oleh perubahan tersebut. Ibuku sendiri merupakan seorang guru SD di dekat rumahku mengatakan sulit mengajar di jaman sekarang, kurikulum terus diperbarui. Belum merasa berhasil dengan kurikulum ini sudah ganti dengan kurikulum lain.

Aku tak berkata bahwa pergantian kurikulum ini tak baik lho, baik sekali sistem student center learning yang saat ini digembor-gemborkan dan di gadang sebagai solusi atas masih rendahnya tingkat pemahaman siswa di masa sekolah. Guru sebagai fasilitator hanya mengarahkan, membimbing, dan memudahkan jalan anak didik pada esensi dari pelajaran.

Betul sekali sangat baik idealnya. Nyatanya, tak berjalan mulus seperti yang diharapkan lho. Banyak siswa yang tak menyadari kenapa harus bertanya dikelas, kenapa harus aktif selama proses pembelajaran. Mereka ’bego’ dalam hal ini termakan oleh arus kurikulum yang dicap baik itu. Guru tak tinggal diam, mereka melakukan intrik, bujuk rayu, dan segala trik yang didapat kala diklat kurikulum baru. Itupun masih belum berhasil. Hasil dari implementasi student center learning yang setengah-setengah ini tidak maksimal dalam penyampaian materi. Murid tak dapat materi dan guru tak dapat menyampaikan materi dengan baik.

Contoh kongkretnya, ya aku dan teman temanku kala SMA dulu yang getol dengan presentasi kelas selama pelajaran berlangsung, teman-teman merasa tidak mengerti apapun setelah teman lain presentasi di kelas, selain karena materi yang tinggal menyalin dari internet yang tak bersumber dari acuan yang jelas, presenter yang menyajikan materi pun tak paham betul materi yang disampaikan, nah apalagi yang menyimak. Kondisi ini diperparah lagi oleh sistem tanya jawab kala presentasi dimana guru memberikan poin plus pada siswa yang bertanya. Memang bagus sepertinya? Tapi lagi lagi implementasi yang salah serta penanaman mindset yang keliru pada siswa akan membentuk pola pikir ’ane tanya cuma buat dapet nilai doang kok’, so cari aja pertanyaan yang bersifat mengetes saja dan tidak berisi sedikitpun yang mana pertanyaan yang demikian itu tak menghasilkan atmosfer tanya jawab yang kondusif dan mengarah pada useless.

Itu hanya sekelumit ketidakefektifan implementasi dari keidealan sebuah model pendidikan. Potret ini terlalu sempit aku rasa. Sungguh masih banyak contoh lain di luar sana yang tak semuanya aku tahu.

Oh iya sepertinya sampai paragraf ini aku belum menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri diatas. Mengapa negeri ini masih belum tergolong negara dengan warga yang terdidik. Kebodohan dan kemiskinan masih tercecer di jalan-jalan. Tak dapat dipungkiri kondisi ini membuat kita miris.

Satu hal yang menggelitik dan semoga menjadi jawaban atas pertanyaanku diatas adalah kurangnya ilmu terapan di negeri ini. Rasakan sendiri ketika kamu sedang duduk di bangku sekolah, apa yang kalian dapat, jawabnya pasti hafalan rumus ini, hafalan tentang materi ini, hafalan tentangpelajaran itu. Benar benar cerdas otak anak anak Indonesia. Sayangnya inilah yang menjadi masalah. Mereka tak tahu buat apa materi ini, buat apa ingatan tentang pelajaran itu, buat apa pula hafalan rumus itu. Hayoo ngaku deh, pernah kan ngerasa yang sedemikian rupa itu?Contoh kongkretnya nihlulusan SMA suruh kerja, pasti tak akan ada hubungannya dengan apa yang dipelajari di sekolah dulu. Mereka sering bertanya tanya pada hati kecil mereka sendiri tentang ’kenapa aku harus belajar biologi toh nanti aku kerja jadi montir?’

Paradigma seperti ini yang harus diubah. Di sini pemerintah sepertinya sudah menyadari akan hal ini jauh sebelum aku tulis artikel ini, yaitu dengan diterbitkannya metode baru pendekatan pada tingkat ekonomi negeri ini melalui program SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang menjadi pesaing SMA dewasa ini. Sekolah kejuruan lebih diprioritaskan, mengingat ketrampilan lah yang dicari di dunia kerja nanti. Tentu aku sangat sepakat dengan kebijakan pemerintah yang seperti ini.

Sudah seharusnya Indonesia bangkit di mana sekolah tak hanya mempelajari materi biologi itu seperti ini itu, tapi lebih ke implementasinya, semisal identifikasi organisme dengan menyusuri hutan, memancing di laut dan aktivitas yang secara langsung bercengkrama dengan alam. Pelajaran fisikamendesain balon udara dengan prinsip bernauli. Pelajaran kimia tentang reaksi fermentasi bir secara langsung dari singkong. Pelajaran matematika dengan penghitungan permodelan ekonomi mikro. Penerapan yang banyak dibandingkan materi akan memicu siswa lebih kreatif mengimplementasikan rumus dan materi yang di dapat. Bukan hanya datang duduk dengar pulang dan tak dapat apapun sesampainya dirumah. Dengan aktivitas yang secara langsung berinteraksi dengan kehidupan sehari hari diharapkan siswa lebih mengenal untuk apa belajar materi ini, ternyata untuk ini toh. Mereka tak akan lagi kebingungan menentukan jalan mereka yang menjadi minat mereka. Dengan demikian, guru hanya akan mengarahkan pada minat siswa dan bakatnya dimana sehingga mereka kenal dengan itu dan mengembangkannya hingga sukses kelak.

Aku melihat ini di luar negeri dimana ketika menginjak usia belajar anak kecil lebih banyak bermain dengan alam, memancing ikan, bermain bola, outbond di luar kelas sambil dikenalkan keilmuan yang mendasarinya. Menurutku, ini akan lebih menarik siswa daripada harus ngoceh di depan kelas tanpa tahu tujuan belajar itu apa. Ya kan? Selain itu, di sana kalau ujian bukan hafalannya yang dibuat susah tapi pengimplementasian pada soal lah yang dibuat susah. Masih belum mengerti? Kalau disini soal setiap tahun ujian tetap karena yang diujikan sama. Kalau di sana rumus, kalkulator, atau catatan boleh dibawa dengan soal yang bervariasi. Nah dengan ini siswa akan memiliki kreativitas untuk menjawab soal sesuai dengan apa yang ditanya di soal. Bukan malah hafalan yang dilakukan dirumah yang ditanyakan di dalam ujian. Benarkah demikian?

Sejauh ini aku sudah menceritakan panjang dan lebar tentang apa yang aku pikirkan.

Semoga menjawab tantangan negeri ini untuk bangsa yang lebih mandiri dan bermartabat. Semoga bermanfaat dan membuka pikiran kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun