Tariff yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kepada negara lain pada tahun 2025 ini menimbulkan banyak gejolak geopolitik dunia. Banyak negara (termasuk Indonesia) mengkhawatirkan adanya hambatan ekspor menuju Amerika.
Dengan adanya Tariff masuk yang tinggi, produk ekspor Indonesia jadi lebih mahal. Konsumen di Amerika bisa beralih ke produk lain dengan kualitas yang sepadan dan harga yang lebih murah. Artinya permintaan produk Indonesia di Amerika jadi turun. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin produsen di Amerika memproduksi barang dan jasa tersebut di Amerika sendiri.
Ini buruk bagi perekonomian Indonesia mengingat total ekspor Indonesia ke Amerika cukup tinggi. BPS mencatat ekspor Indonesia ke Amerika senilai 26,3 Milyar USD pada tahun 2024. Beberapa komoditas terbesarnya, antara lain: minyak sawit, alas kaki, karet, furnitur kayu, tekstil, kakao, batu bara, dll. Tentu industri-industri tersebut akan terganggu dengan adanya pengenaan Tariff Trump ini.
Sebagai informasi, hingga tulisan ini ditayangkan, negosiasi Presiden Prabowo dan Presiden Trump terus berjalan. Kesepakatan terakhir tariff yang dikenakan ke barang Indonesia adalah 19%. Sebaliknya, barang Amerika bebas masuk ke Indonesia dengan tariff 0%. Dan terdapat perjanjian pembelian produk-produk Amerika oleh Indonesia.
.
Refleksi Pertama: Kemandirian Bangsa
Pengusaha dalam negeri dan pemerintah seharusnya sudah memetakan dan menyiapkan mitigasi risiko terhadap restriksi perdagangan global seperti ini. Terutama disaat tensi geopolitik semakin memanas seperti saat ini.
Adanya Tariff Trump ini sebenarnya memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk merefleksikan ulang perekonomian di negaranya. Mau dibawa kemana ekonomi Indonesia kedepan.
Ekonomi memang seharusnya dimulai dari pondasi yang kuat. Mulai dari pemenuhan kebutuhan primer dan bersifat lokal dulu. Jika ada surplus, baru diperdagangkan dengan negara lain. Dengan adanya perdagangan dengan negara lain, masyarakat Indonesia bisa menikmati produk dari negara lain dengan kualitas prima dan harga terjangkau. Terutama untuk produk yang sulit diproduksi dalam negeri.
Dengan begitu, berdagang jadi lebih tenang. Mau ada proteksi atau hambatan perdagangan, ekonomi terus berjalan karena prioritasnya memang pemenuhan kebutuhan dalam negeri dulu. Yang diekspor adalah produk surplusnya dan masyarakat tidak hidup dari surplus itu. Ibarat sebagai pekerjaan sampingan untuk pendapatan tambahan.
Ketika ada restriksi, maka masyarakat tidak perlu khawatir lagi. Lah kebutuhan pokok hidupnya telah tercukupi? Apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Ketiadaan permintaan ekspor (yang merupakan produksi surplus) menciptakan waktu luang. Waktu luang adalah saatnya bersenang-senang, menikmati hidup atau inovasi untuk peningkatan produktivitas kerja di kemudian hari.
Begitulah seharusnya esensi dari perdagangan. Tidak seperti sekarang ini. Banyak pengusaha dalam negeri (termasuk pekerjanya) yang all-out mengerahkan semua energi untuk satu bidang itu saja. Bekerja pada satu sektor ekonomi saja. Tidak ada diversifikasi portofolio.
Ketika ada gangguan ekonomi seperti ini, banyak pihak ketakutan. Karena itu menyangkut hajat hidup mereka. Pabrik banyak tutup. Bisa memicu PHK. Keluarga tidak bisa makan.
.
Refleksi Kedua: Sabar Menahan Konsumsi
Dalam kondisi ekstrim ketika hubungan dua negara retak, perdagangan bisa macet total. Artinya selain ada restriksi ekspor, impor dari negara tersebut pun menjadi sulit.
Kondisi seperti ini seharusnya mengingatkan masyarakat tentang pentingnya mengutamakan konsumsi barang dan jasa yang mudah diproduksi dalam negeri. Kalau pun ingin mencicipi produk dari luar, boleh saja. Asalkan tidak dijadikan konsumsi utama.
Tidak seperti sekarang, masyarakat banyak tergantung oleh bahan impor, seperti energi, kendaraan, sereal, bahan kimia organik, limbah industri pangan dan pakan.
Bolehlah kita sesekali makan roti, tapi utamakan dan seringlah membuat Utri (jajanan tradisional berbahan baku tepung beras). Indonesia tidak kekurangan khasanah jajanan tradisional asli. Masyarakatnya saja yang sedikit enggan melestarikan dan memilih olahan tepung terigu yang instan dan awet.
Itu adalah salah satu contoh kasus. Dan ini berlaku untuk barang-barang impor lain. Kalau bisa diusahakan produksi sendiri, mari bekerja sama mewujudkannya. Jika dirasa sulit produksi sendiri dan impor sedang dibatasi, sabar! Tahan konsumsi. Lah tidak bisa produksi, kok minta mengonsumsi terus? Utamakan konsumsi produk yang bisa dikonsumsi sendiri. Niscaya hidup menjadi mudah!
Salam. Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI