Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarayi Cafe

28 Desember 2023   18:59 Diperbarui: 3 Januari 2024   09:00 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis, selalu membuatnya senang. Menyampaikan buah pikiran kepada masyarakat tanpa bertatap secara langsung, dan memiliki waktu utuk mengoreksi. Menulispun di butuhkan keahlian walaupun tidak ada tolak ukur pasti dari segi keahlian, tapi semua orang bisa menjadi penulis. Seburuk apapun tatanan bahasanya, selama ada niat, ia pasti berkembang. Literasi juga merupakan syarat penting untuk menjadii penulis baik, karena dari membaca juga sebagai cara belajar tatanan bahasa yang baik.

Lebih puluhan orang mempersembahkan buku mereka pada dunia, bukunya terakui oleh ISBN nasional. Walau bagaimana pun, itu tetap buku bertanda perlindungan hak cipta. Tidak semua penulis untuk memperlihat buah pemikirian melalui media cetak seperti halnya koran atau buku. Tapi menggunakan arus perkembangan teknologi seperti media digital yaitu cerpen online atau daring. Tidak ada halangan bagi siapapun untuk menulis, paling dasar dari semua itu adalah pengenalan huruf dan kesambungan kata, kunci itu yang mesti dipegang pada awal perjalanan hingga akhir. Imajinatif adalah golongan cerita paling ringan yang biasa dibuat karena memiliki pondasi yang juga mudah, siapapun bisa berimajinasi bukan?

Pede tentunya juga salah satu poin penting untuk memperkenalkan gaya tulis masing-masing orang. Oh ya, juga setiap penulis memiliki gaya penulisan mereka sendiri jadi jangan minder jika cara menulis kita berbeda dengan penulis kebanyakan, mungkin itu juga adalah gaya menulis kita. Banyak penulis nasional bahkan internasional dari Indonesia yang dapat di jadikan pedoman atau idola karena kehebatan gaya penulisannya. Kagum boleh, tapi jangan lupakan jati diri sendiri bahwa kita harus membuat sesuatu yang berbeda tapi masih mudah untuk dicerna. Maka oleh karena itu, jangan selalu berada di bawah bayang-bayangan idola kita.

"Karena aku adalah aku, kamu adalah kamu. Jadila diri sendiri". TIK. Titik kecil dibentuk Rama di ujung paragrafnya, bukan akhir, hanya sebagai batas penanda saja. Dia bersandar pada sandaran kursi. Suara gemuruh dan kilatan petir sesekali mewarnai langit gelap kota itu, dia menegakkan kertas di hadapannya setelah memerhatikan jam loji, 19.38, ia berjanji pada diri sendiri akan pulang sebelum jam 20. Tak terasa waktu melangkahi segala pekerjaan, dan waktu cukup lama berjalan. Dia telah sampai di paragraf kesepuluh, dan ia kira memang sudah cukup, tinggal beberapa paragraf penutup. Embusan napas keluar dari mulut Rama, sudah saatnya pulang. Dia merapikan kertas-kertas, pena, tipe-X dan barang-barang yang berguna untuk penulisan ke dalam ransel, dinaikannya ke bahu dan bersiap untuk beranjak.

"Mas Rama" suara dari belakang memanggilnya. "ini hot coffe latte" kasir memberikan wadah kertas daur ulang. "terimakasih, siapa namamu" si kasir terdiam mendengar pertanyaan itu, bagai tak percaya. Masih terdiam. "heii, siapa namamu" tegur Rama lagi. "oh, A.... A.... Adnan" "sebutkan nomor teleponmu" "hah beneran nih" Adnan terdiam hampir tak percaya nampan masih dipegang tangannya. Penulis itu mengangguk sambil menyiapkan hp-nya. "oh" si kasir menyebutkan rangkaian angka dengan lancar. Rama mengulangi angka-angka itu. "ya, benar" seru Adnan. "terima kasih lagi" pelanggannya berbalik hendak meraih gagang pintu kaca sebelum hal itu terjadi.

PRAK, BUUM. Diikuti bunyi sirine.

Rama tersungkur ke lantai saking terkejutnya, kopinya tidak tumpah tapi nyaris saja. Pintu kaca dihantam sebuah ban dari sebuah sedan, retak berat hampir pecah. Sedangkan sedannya sendiri menghantam parkiran di depan Sarayi Caf. Beberapa motor dan sebuah mobil dihantamnya dengan keras. Si penulis keluar dengan hati-hati dan menuruni tangga. Hujan sudah mereda meniggalkan gerimis walaupun mendung masih menyelimuti kota. Motor Rama nyaris ringsek tapi syukurnya tidak tersentuh sedikitpun kendati berada di sampir motor terakhir yang di hantam mobil. Dia tidak menoleh menoleh pada si pengemudi mobil, entah sudah bagaimana keadaanya. Ia letakkan kopi di dalam jok motor setelah mengeluarkan jas hujan, mengenakannya lalu langsung saja tancap gas meningalkan TKP. Ia menoleh kebelakang, pengunjung kafe keheranan ketika melongokkan kepala ke luar jendela.

Tiba-tiba muncul rasa bersalah di benak Rama, kenapa tadi tidak kubantu si pengemudi, kenapa tidak tinggal dulu di kafe sambil menelepon otoritas, meminta bantuan, kenapa tidak menunggu sebentar saja lagi. Pertanyaan mengganjal dan terasa mengganggu. Hatinya berkata agar balik arah, tapi tubuhnya menolak tegas hal itu. Dia masuk ke jalan raya dan hujan kembali deras, pantas mendung tidak pergi. Pandangan ke depan menjadi kabur, bulir air bagai meteor yang menghujam bumi tanpa ampun, tapi sebaliknya membawa kebaikan.

Matanya awas menatap ke depan, sebelum pada akhirnya menangkap pemandangan itu, seorang manusia tua terjatuh dari sepeda ontelnya, tubuh yang ringkih itu jelas kedinginan dan sepertinya ada yang terkilir. Hati dan fisiknya bertarung untuk memperebutkan pendapat. Bantu atau biarkan. Terus berkecamuk sambil memandang dengan hati teriris. Akhirnya hati menang. Rama menyetop motornya di samping trotoar dan membantu kakek itu kembali berdiri memapah ke sebuah warung yang tutup tapi beratap teras, dia melepas jas hujan dan membalutnya ke tubuh tua itu. "pian kada papa kah (anda baik-baik saja)" Tanya Rama "kada papa (baik-baik saja)" jawab kakek itu. Si penulis bergerak memanggul sepeda tua berisi tape singkong ke dekat warung di bawah naungan. "pian di sini haja dulu, sampai ampih hujan. (anda di sini saja dulu, sampai reda huja)" ujar Rama sebelum pamit dan kembali menunggangi motornya. Ada rasa puas menyelimuti sanubarinya tak terkira. Menolong orang lain, ada secercah inspirasi hinggap, itulah poin terpentingnya.

Sesampainya di halaman kos. Dia menyapa ibu kos di teras, beliau sendiri selalu menjaga siapa saja yang keluar masuk dan kenal baik dengan setiap penghuni kamarnya. Si penulis langsung saja masuk ke kamar, membereskan barang-barangnya lalu mengeluarkan kembali lembar-lembar kertas dan pena. Menulis paragraf akhir dengan sangat lancar bahkan tidak lagi penolakan antara hati dan fisik, semuanya sempurna ia tulis hingga akhir, hingga jam 20 tuntas lah kisahnya.

Besok, waktu pagi ia pacu motornya ke kantor redaksi koran lokal di kotanya dengan membawa kertas berisi cerpen yang ditulisnya kemarin, jarang ia kirimkan kisah dengan email. Cepat saja kisah itu masuk ke koran besok hari dan tertulis di bawah kisahnya, 'TOP 1 CERPEN TERBAIK BULANAN' dengan penuh penghargaan tercetak hal itu. Uang pun cair, dan ia siap untuk menyambut cerpen baru lagi. Sambil sorenya duduk di teras kos menatap langit senja kejinggan. "menulis, pekerjaan hobi penghatur rezeeki" ujarnya sambil tersenyum, senyum simpul. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun