Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarayi Cafe

28 Desember 2023   18:59 Diperbarui: 3 Januari 2024   09:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda itu termenung saja di depan iced coffe lattenya, hujan deras membasahi jalanan dan halaman, butir-butirnya perlahan merayap jatuh di kaca vertikal. Udara dingin mengeluar dari sana setidaknya jaket yang di gunakan pemuda itu cukup untuk membuat dirinya tetap hangat. Di depan dirinya, tergeletak begitu saja sebuah kertas tulis besar dan sebuah pulpen di ikuti tipe-X kertas. Kertas itu masih kosong kecuali judulnya yang besar tertulis di atas dan telah dihiasinya dengan garis-garis melengkung memberi kotak secara tidak langsung.

Kafe itu memberikan tempat berteduh di parkirannya, beberapa orang naik untuk menikmati secangkir kopi yang nikmat di tengah derasnya hujan. Pemuda itu tidak benar-benar termenung sebenarnya, dia tersenyum berkali-kali ketika inspirasi menabrak kepalanya, tapi berkali-kali pula surut, dia pikir itu tidak terlalu baik untuk di buat sebuah certia. Namanya Rama, lulusan sarjana sastra, bekerja sebagai administrator juga penulis kambuhan yang sering dipesan darinya berupa cerpen bergaya apapun, dan uang selalu mencair setiap ia kirim secara pdf kepada klien, tak lama. Puuf, uang cair. Rama tersenyum lagi, terbuncah dalam pikirannya untuk sebuah cerita tentang bagaimana susahnya penulis menulis. Tapi terasa konyol.

Kepalanya menggeleng-geleng untuk menghapus pikiran itu, lalu tertegun sejenak.  Ada sebuah inti pokok dari situ, menghargai penulis. Dia pikir-pikir matang sambil menatap ke selembar kertas, ada awalan yang harus terlebih dulu dipersiapkan di setiap cerita. Beberapa menit berlalu, semilir angin AC saja melalui badannya. Cepat atau lambat, harus ada kalimat di sana. Diputuskannya, menulis apapun yang terlintas. Sebagai hasil, sebuah paragraf muncul. Lalu tersenyum, dia menimbang-nimbang hasilnya, memerhatikan kaidah penulisan, kesambungan huruf dan kejelasan maksud. Pena kembali bergores di atas kertas dengan lancar.

Paragraf kedua dan ketiga tidak kalah baiknya, tapi terhenti pada ke empat. Ada sesuatu yang terasa ganjal dan ganjil, 'seharus itu tidak di sana' ucap batinnya. Segera saja di lapisi oleh tipe-X, dan di tulis ulang, tapi tetap saja berulang kesalahan yang sama di bagian lain. Bermenit-menit berulang, akhirnya Rama stress. Isapan terakhir pada sedotan minumnya mengambalikan akal pikirnya pada dunia nyata, sejenak harus di tinggalkan dan kembali memesan. Dia berdiri dengan hp dompet terselip di kantong, segera saja menuju kasir. Beberapa saat memilih salah satu minuman di daftar menu yang terlaminating. "hot coffe latte" ujarnya, dengan menunjuk daftar menu. Kasir di sana menandai pesanan. "ada tambahan?" tanyanya. Rama hanya menggeleng, kasir kembali menandai beberapa hal, "totalnya Rp 16.000" "bisa dengan Qris". Kasir menyiapkan alat pemindai sementara si pelanggan mengambil telpon genggamnya.

Ada kalimat yang mengganjal di tenggorokan si kasir, bukan sesuatu yang mencemas kan, ada sesuatu yang berbinar seperti matanya. "Anda mas Rama Untung" ucapnya dengan tak percaya. Pertama karena sanggup berbicara dan kedua jika benar itu 'dia'. Pelanggannya mengangguk tipis saja, "wah, sebuah kehormatan bertemu anda, jika tidak keberatan maukah anda memberikan tandatangan pada cerpan saya" ucapnya sopan. Beberapa lembar kertas ia sodorkan dengan tulisan tangan paling standar dan mudah dibaca tapi juga memberi kesan luar biasa, judulnya pun juga bagus serta menarik. Rama tersenyum.

"ceritamu pernah masuk ke media apa?"

 "belum banyak, beberapa kali mengirim ke koran banyak yang di tolak"

"antalogi?"

"sedikit, ikut workshop dan festival" si kasir ikut tersenyum.

"terus berkarya dan jangan menyerah" pesan Rama sebelum berbalik kembali. Si kasir masih terasa senang, garis-bergaris hebat sudah tercetak di atas cerpennya, betapa senangnya ia. Penulis kambuhan itu mengistirahatkan dirinya di kursi sederhana yang nyaman, sekali tertatap ke atas kertas. 'Perbuatan, ya' sekali tergores tipe-X dan ia temukan jalan tengah yang lebih baik di paragraf keempat, menjalar hingga kalimat-kalimat sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun