Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Ramadan dalam Luka dan Doa

23 Maret 2025   19:35 Diperbarui: 23 Maret 2025   19:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjalani ramadan bersama keluarga yang tak lengkap, tanpa hadirnya salah satu anggota keluarga (Canva)

Ramadan kali ini terasa berbeda. Udara sore yang biasa diwarnai gelak tawa di beranda rumah kini hanya menyisakan sepi. Matahari perlahan condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di langit yang seakan mengantarkan seseorang menuju kepergian yang abadi. Di dalam rumah kecil itu, Sulaiman tinggal berdua dengan ibunya. Saat ini Sulaiman duduk termenung di teras, di kursi kayu tua yang berderit setiap kali ia bergeser. Di tangannya tergenggam tasbih usang milik ayahnya. Ia meremasnya erat, seakan benda itu mampu membawanya kembali ke masa lalu.

Setiap Ramadan, ayahnya selalu menjadi orang yang paling bersemangat. Dari jauh-jauh hari, beliau sudah menyiapkan segala sesuatu: mulai merapikan dan bersih-bersih rumah kecil mereka hingga mengatur siapa yang akan menjadi imam salat tarawih di surau kecil kampung mereka. Namun, tahun ini berbeda. Ayahnya telah pergi tiga bulan lalu, meninggalkan lubang besar di hati Sulaiman dan ibunya. Meninggalkan kerinduan teramat sangat, kerinduan yang sampai saat ini belum ada obatnya. Sosoknya yang sederhana, bersahaja, tapi kehadirannya membawa kehangatan dan ketenangan.

***

Baca juga: [Cerpen] Penyesalan

Malam pertama Ramadan tiba. Biasanya, ayahnya akan mengajak Sulaiman kecil ke surau, menggandeng tangannya erat, lalu membacakan ayat-ayat suci di sepanjang jalan menuju surau. Sulaiman masih ingat bagaimana suara ayahnya mengalun lembut, mengajarinya menghafal ayat demi ayat. Kadang, ayahnya berhenti sejenak di warung kecil dekat surau, membelikan es lilin favoritnya. "Biar puasanya makin semangat," kata ayahnya sambil tersenyum.

Kini, ia hanya bisa berjalan sendirian, menapaki jalan setapak yang gelap menuju surau. Langkahnya berat, karena tak ada lagi suara ayah yang membangkitkan semangatnya. Sulaiman masuk ke dalam surau, menempati saf kedua, dan menatap imam yang mulai mengangkat tangan untuk takbir pertama. Suaranya bergetar.

Allaahu Akbar.

Air mata Sulaiman tumpah begitu saja. Seakan ia bisa mendengar suara ayah di antara bacaan imam. Ia menunduk, menggenggam sajadahnya erat. Dalam sujudnya yang panjang, ia berdoa tanpa suara, hanya hatinya yang merintih, berharap bisa merasakan lagi kehangatan tangan ayahnya.

***

Di rumah, ibu sudah menunggu dengan hidangan sederhana. Nasi hangat, ikan asin, dan sayur lodeh. Tak ada yang berubah dari menu berbuka mereka. Dulu, ayah selalu bercanda bahwa makanan sederhana inilah yang paling lezat di dunia.

"Apa enaknya makanan mahal kalau tak dimakan bersama keluarga?" katanya dulu sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun