Ramadan kali ini terasa berbeda. Udara sore yang biasa diwarnai gelak tawa di beranda rumah kini hanya menyisakan sepi. Matahari perlahan condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di langit yang seakan mengantarkan seseorang menuju kepergian yang abadi. Di dalam rumah kecil itu, Sulaiman tinggal berdua dengan ibunya. Saat ini Sulaiman duduk termenung di teras, di kursi kayu tua yang berderit setiap kali ia bergeser. Di tangannya tergenggam tasbih usang milik ayahnya. Ia meremasnya erat, seakan benda itu mampu membawanya kembali ke masa lalu.
Setiap Ramadan, ayahnya selalu menjadi orang yang paling bersemangat. Dari jauh-jauh hari, beliau sudah menyiapkan segala sesuatu: mulai merapikan dan bersih-bersih rumah kecil mereka hingga mengatur siapa yang akan menjadi imam salat tarawih di surau kecil kampung mereka. Namun, tahun ini berbeda. Ayahnya telah pergi tiga bulan lalu, meninggalkan lubang besar di hati Sulaiman dan ibunya. Meninggalkan kerinduan teramat sangat, kerinduan yang sampai saat ini belum ada obatnya. Sosoknya yang sederhana, bersahaja, tapi kehadirannya membawa kehangatan dan ketenangan.
***
Malam pertama Ramadan tiba. Biasanya, ayahnya akan mengajak Sulaiman kecil ke surau, menggandeng tangannya erat, lalu membacakan ayat-ayat suci di sepanjang jalan menuju surau. Sulaiman masih ingat bagaimana suara ayahnya mengalun lembut, mengajarinya menghafal ayat demi ayat. Kadang, ayahnya berhenti sejenak di warung kecil dekat surau, membelikan es lilin favoritnya. "Biar puasanya makin semangat," kata ayahnya sambil tersenyum.
Kini, ia hanya bisa berjalan sendirian, menapaki jalan setapak yang gelap menuju surau. Langkahnya berat, karena tak ada lagi suara ayah yang membangkitkan semangatnya. Sulaiman masuk ke dalam surau, menempati saf kedua, dan menatap imam yang mulai mengangkat tangan untuk takbir pertama. Suaranya bergetar.
Allaahu Akbar.
Air mata Sulaiman tumpah begitu saja. Seakan ia bisa mendengar suara ayah di antara bacaan imam. Ia menunduk, menggenggam sajadahnya erat. Dalam sujudnya yang panjang, ia berdoa tanpa suara, hanya hatinya yang merintih, berharap bisa merasakan lagi kehangatan tangan ayahnya.
***
Di rumah, ibu sudah menunggu dengan hidangan sederhana. Nasi hangat, ikan asin, dan sayur lodeh. Tak ada yang berubah dari menu berbuka mereka. Dulu, ayah selalu bercanda bahwa makanan sederhana inilah yang paling lezat di dunia.
"Apa enaknya makanan mahal kalau tak dimakan bersama keluarga?" katanya dulu sambil tersenyum.