Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Ramadhan: Materialisme dan Kehancuran Nilai Spiritual

9 Maret 2025   23:12 Diperbarui: 10 Maret 2025   18:32 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renungan bersama (Taken by Amir)

Saat ini kita berada di bulan mulia, bulan Ramadhan. Bulan yang di dalamnya, bahkan tidur menjadi ibadah. Allah mudahkan kita menjadi lebih baik, dengan dibelenggunya setan. Saat di mana ibadah kita seharusnya menjadi puncak terbaik. Karena semua motivasi berbuat terbaik harusnya ada di bulan ini.

Saat bulan puasa ini, tak ada salahnya kita sisihkan waktu untuk merenung. Bertafakur. Bukan sekedar merenungkan diri pribadi, tapi juga merenungkan kondisi bangsa ini. Betapa kerusakan sudah menjalar kemana-mana, tidak lagi jauh. Bahkan kerusakan ini sudah ada di dekat kita, mungkin malah kita juga bagian dari kerusakan itu sendiri.

Kita hidup di era yang penuh dengan gemerlap duniawi. Harta, jabatan, dan pengaruh sosial sering dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang. Sayangnya, dalam perburuan terhadap materi ini, seringkali kita rela mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual. Kita lebih peduli dengan bagaimana mendapatkan kekayaan sebanyaknya dibandingkan dengan apakah cara itu benar atau salah. Seakan-akan, tujuan akhir dalam hidup ini hanyalah menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, tanpa peduli lagi benar salahnya.

Lihat saja fakta-fakta saat ini, kasus pertamina, kasus timah, oplosan beras bulog, korupsi pajak terjadi bertubi-tubi. Orang-orang yang diberi amanah jabatan untuk mengurusi urusan rakyat abai dengan rakyat. Dalam dunia kerja, ada orang yang rela menjilat atasan demi promosi jabatan. Ada pula yang tega menginjak rekan kerja sendiri demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tidak jarang kita mendengar cerita tentang seseorang yang mengkhianati sahabatnya hanya karena urusan bisnis atau warisan. Padahal, agama mengajarkan bahwa harta hanyalah titipan. Harta seharusnya menjadi alat untuk berbuat kebaikan, bukan menjadi tujuan utama dalam hidup yang justru menjauhkan kita dari Allah.

Sejak kecil, kita sering diajarkan untuk takut pada hal-hal yang kelihatan, bersifat materi, konkret, seperti hukum dan otoritas manusia. Seorang anak sering diberi peringatan, "Jangan begitu, nanti ditangkap polisi!" atau "Awas nanti  bapak tahu!" Namun, jarang sekali kita mendengar orang tua berkata, "Jangan lakukan itu, Allah melihat dan mengetahui segalanya." Akibatnya, banyak dari kita yang lebih takut terhadap manusia dibandingkan dengan Allah. Kita menghindari perbuatan buruk hanya jika ada yang mengawasi, tetapi tetap melakukannya saat merasa tidak ada yang melihat. Nah, efeknya ya kayak sekarang, koruptor merajalela.

Bukan hanya yang punya jabatan yang begitu. Yang miskin dan gak ada jabatan pun sama. Hanya saja mereka kurang beruntung tidak memegang jabatan. Seandainya pegang jabatan, kemungkinannya pun akan berbuat tak jauh beda.

Coba kita renungkan, berapa banyak dari kita yang patuh pada aturan lalu lintas hanya saat ada polisi di jalan? Namun, saat jalan sepi, kita merasa bebas menerobos lampu merah. Atau dalam urusan pekerjaan, ada orang yang bekerja keras hanya ketika bos ada di kantor, tetapi santai dan bermalas-malasan ketika atasan tidak ada. Ini adalah bentuk ketakutan yang salah arah. Jika seseorang benar-benar memiliki nilai spiritual yang kuat, ia akan tetap berbuat baik, bukan karena takut pada manusia, tetapi karena sadar bahwa Allah selalu mengawasi.

Kita sering mendengar kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Lucunya, banyak dari mereka yang saat ditangkap justru memakai atribut agama, seperti peci atau baju koko. Padahal, saat melakukan korupsi, mereka jelas tidak memikirkan nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang yang hanya menjadikan agama sebagai simbol, tetapi tidak menerapkannya dalam kehidupan.

Banyak orang tua yang mendidik anaknya hanya untuk sukses secara akademik dan finansial, tetapi lupa dengan nilai moral dan agama. Semua dilakukan supaya anak bisa kuliah di kampus idaman, bahkan jika harus menyuap sekalipun. Untungnya sekarang ada jalur mandiri, sehingga suap bisa disamarkan. Anak-anak diajarkan untuk mendapatkan nilai bagus agar bisa masuk universitas ternama, lalu bekerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Namun, mereka tidak diajarkan bagaimana menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, dan memiliki empati. Akibatnya, banyak kita  jumpai orang yang pintar tetapi tidak memiliki integritas.

Kehancuran nilai spiritual ini membawa dampak yang serius dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika manusia lebih mengutamakan materi dibandingkan dengan nilai moral, maka berbagai masalah sosial pun muncul. Persaingan tidak sehat, individualisme, hingga ketidakpedulian terhadap sesama menjadi hal yang biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun