Pagi itu, Udin berlarian menuju sekolah dengan wajah berseri-seri. Hatinya riang. Hari ini adalah hari pertama program MBG (Makan Banyak Gratis) dari Pak Kades. Di kantin sekolah, piring-piring berisi nasi, ayam goreng, tahu tempe, dan sayur lodeh berjajar rapi. Anak-anak bebas mengambil, bebas makan, dan bebas kenyang.
"Alhamdulillah! Kades kita memang hebat!" seru Udin pada teman-temannya.
Namun, di rumah, suasana berbeda. Ayah Udin, Pak Hasan, duduk di kursi kayu dengan tatapan kosong. Selembar surat pemutusan hubungan kerja dari BUMD tergeletak di atas meja, surat yang diperolehnya minggu lalu. Ibunya, Bu Siti, menatap dapur yang kosong. Hanya ada sisa beras untuk satu kali masak.
"Besok kita makan apa, Mas?" tanya Bu Siti lirih.
Pak Hasan menarik napas panjang. "Aku mau ke rumah Emak di kampung. Mungkin bisa pinjam beras."
Perjalanan menuju rumah Emak tak seperti biasanya. Perut kosong membuat langkahnya lemah. Namun, pikirannya makin berat ketika di tepi jalan, ia melihat kerumunan orang. Suara riuh terdengar, diselingi makian dan umpatan. Pak Hasan mendekat.
Di tengah kerumunan itu, seorang pria tergeletak, tubuhnya penuh luka lebam. Darah mengalir dari pelipisnya. Orang-orang berbisik.
"Maling! Ketahuan nyolong susu!"
Pak Hasan terhenyak. Ia mengenali wajah itu. Harun. Teman kerjanya dulu. Yang sama-sama kena PHK karena anggaran BUMD dipotong demi program MBG.
Dengan tangan gemetar, Pak Hasan berlutut di samping tubuh Harun. Nafas sahabatnya tersengal. Bibirnya bergerak pelan.