Tentu saja, perjalanan IPNU tidak selalu mulus. Banyak pengurus yang harus patungan untuk menggelar kegiatan. Di desa-desa, mereka harus kreatif mencari tempat rapat---kadang di beranda rumah, kadang di masjid, atau bahkan di bawah pohon rindang. Tapi justru dari keterbatasan itulah tumbuh ketulusan.
Tidak sedikit yang menjadikan IPNU sebagai tempat pertama kali mereka merasa punya arti. Tempat pertama mereka disebut "Kader". Tempat mereka belajar tentang tanggung jawab, tentang bagaimana menjadi bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk umat.
Di era sekarang, tantangan anak muda tidak lagi hanya soal nilai ujian. Ada ancaman yang lebih halus---radikalisme yang menyusup di ruang digital, serta apatisme yang membuat banyak pelajar merasa tak punya harapan. Di sinilah IPNU hadir sebagai jawaban.
Dengan semangat Islam damai, IPNU berdiri di garda depan menyuarakan Islam yang ramah, bukan marah. Mereka ajak teman-temannya berpikir terbuka, berdialog, dan tetap mencintai tanah air. Di saat yang lain menyerah, kader IPNU memilih untuk tetap bergerak.
Di IPNU, kita belajar bahwa menjadi pelajar bukan hanya soal lulus ujian. Tapi tentang bagaimana hidup dengan nilai, bagaimana bersuara tanpa mencaci, bagaimana mencintai tanah air tanpa kehilangan iman.
IPNU adalah tempat belajar tanpa papan tulis. Ia adalah sekolah kehidupan. Di sinilah pelajar NU tumbuh bukan hanya menjadi pintar, tapi juga menjadi pribadi yang lembut hati, luas pikiran, dan kuat tekad.
Dan selama IPNU masih ada, selama masih ada pelajar yang mau belajar dan berjuang, kita percaya---masa depan Indonesia ada di tangan yang tepat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI