Di malam hari, ruang makan di rumah itu berubah menjadi forum diskusi. Tjokro membuka perdebatan tentang imperialisme, sosialisme, pan-Islamisme, hingga kemajuan teknologi. Soekarno yang masih muda duduk menyimak, kadang ikut menyanggah. Tjokro menyemangati semua anak asuhnya untuk berpikir bebas, asal bertanggung jawab. Dari sini, benih-benih nasionalisme Soekarno mulai tumbuh.
Menemukan Jalan Nasionalisme
Berbeda dari beberapa rekan serumah yang condong pada Islamisme murni atau Marxisme radikal, Soekarno mulai merumuskan jalur tengah. Ia percaya bahwa bangsa Indonesia harus bersatu melawan kolonialisme tanpa terjebak pada ideologi sempit. Ia menggabungkan nasionalisme, Islam, dan sosialisme dalam bentuk baru yang ia sebut "Marhaenisme". Akar pemikiran ini tumbuh dari dialog panjangnya selama tinggal di Peneleh.
Persahabatan dan Pertentangan Arah
Tinggal satu atap dengan tokoh-tokoh seperti Kartosuwiryo dan Muso membentuk persahabatan intelektual yang erat, tapi juga menantang. Kartosuwiryo kelak menjadi pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, sedangkan Muso memimpin pemberontakan PKI. Namun kala itu, mereka semua bersatu oleh semangat perjuangan. Rumah Tjokro menjadi kawah candradimuka yang melahirkan berbagai cabang ideologi pergerakan Indonesia.
Percintaan yang Tak Sampai
Di rumah itu pula Soekarno mengenal cinta. Ia menjalin hubungan dengan Oetari, putri sulung Tjokroaminoto. Cinta remaja yang indah, meski pada akhirnya kandas. Perasaan itu tak mampu mengikat dua insan muda yang punya jalan masing-masing. Pernikahan mereka berlangsung singkat, namun meninggalkan jejak emosional dalam perjalanan hidup Bung Karno.
Dari Pena ke Mimbar
Soekarno mulai aktif menulis di berbagai media, menyuarakan keresahan dan ide kebangsaannya. Ia paham bahwa pena bisa menyadarkan rakyat, sebelum pidato membakar semangat mereka. Tulisan-tulisannya menggugah dan berani, mencerminkan pengaruh kuat dari gaya retoris Tjokroaminoto. Rumah itu telah membentuknya menjadi orator dan pemikir yang utuh.
Meninggalkan Peneleh, Membawa Api
Setelah lulus dari HBS, Soekarno melanjutkan kuliah ke Technische Hoogeschool di Bandung. Tapi semangat dan nilai-nilai dari Peneleh tetap menyala dalam dirinya. Ia membawa bekal pemikiran yang kaya, pemahaman mendalam tentang rakyat, dan keberanian untuk bermimpi tentang Indonesia merdeka. Rumah Tjokro bukan sekadar tempat tinggal—ia adalah universitas kehidupan.