"Saya tidak mau berlama-lama meratapi nasib, pak. Apapun saya lakukan selama memang halal agar punya penghasilan. Akhirnya jualan cilok ini. Meski dapatnya dikit-dikit, disyukuri saja. Tak terasa sudah jalan lima tahunan," kenangnya.
Selayaknya teman cerita, saya lantas merespons cerita si bapak. Bilang bahwa hidup memang terkadang pahit tetapi harus terus semangat menjalaninya. Bilang bila ciloknya enak. Juga mendoakan jualannya laris.
"Alhamdulillah bapak sudah punya tempat mangkal untuk jualan, orang jadinya sudah hafal. Nggak perlu nyari kalau mau beli ciloknya bapak. Semangat terus pak," ujar saya sembari berpamitan.
PHK itu pahit, tapi harus move on
Seperti pak penjual cilok tersebut, sejatinya tidak ada kepala keluarga yang siap terkena PHK di tempat kerjanya.
Bahkan, bilapun dia sudah tahu akan mendapat giliran PHK di kantor atau perusahaan tempatnya bekerja karena sudah banyak rekannya yang berpamitan duluan, situasinya tetap tidak mudah untuk diterima.
Meski siap bila sewaktu-waktu dirumahkan, tetap saja dia tidak sepenuhnya siap bila hari nahas itu tiba.
Situasi seperti itu yang pernah dihadapi kawan saya yang bekerja di perusahaan media.
Dia tahu, perusahaan tempatnya bekerja selama lebih dari dua dekade, sedang tidak baik-baik saja. Tolok ukurnya, dalam beberapa tahun terakhir, ada puluhan karyawan sudah diputus kerja.Â
Boleh jadi imbas lesunya oplah koran dan penghasilan iklan dalam beberapa tahun terakhir. Sementara gaji karyawan terus jalan. Maka, efisiensi dilakukan. Para atasan itu lantas berpikir, cara paling masuk akal adalah mengurangi beban gaji karyawan.
Dia pun menyangka, tahun depan dirinya juga akan mendapat giliran. Dirumahkan.Â