Bermula dari beli cilok ketika menjemput anak pulang sekolah, percakapan gayeng terjadi.
Saya penasaran dengan si bapak penjual cilok karena logat bicaranya. Aksen bicaranya memang terdengar bukan orang Sidoarjo. Bukan pula Jawa Timuran. Saya pun berujar spontan.
"Bapak aslinya mana, kok logatnya seperti dari jauh," tanya saya.
Beliau menjawab spontan, "saya dari Betawi, mas". Dari sini tebakan saya tepat.
Percakapan kami semakin gayeng ketika saya berujar bahwa istri saya orang jakarta. Ditambah cerita bahwa saya pernah ditugaskan di Palmerah pada 2007-2008 silam.
"Palmerah? Lho saya dari Palmerah. Saya dulu pernah jadi tukang gambar di Kompas," ujarnya.Â
Sembari meladeni pembeli lainnya, bapak penjual cilok yang menaruh lapak jualannya di atas jok motor ini lantas bercerita panjang lebar. Dia bercerita perihal pekerjaannya. Perihal keluarganya. Tentang  pindah bekerja di Surabaya.Â
Lalu, tentang pengalaman pahitnya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari tempatnya bekerja saat pandemi Covid-19 merebak. Dia pun mendadak tidak punya pekerjaan.
Sementara, sebagai kepala rumah tangga, dirinya harus memastikan dapur di rumahnya tetap mengebul. Apalagi ada anak-anak yang masih harus dibiayai sekolahnya.Â
Setelah memutar otak, dia pun lantas memilih berjualan cilok karena dianggapnya mudah dan bisa langsung dijalankan.