"Lihat dulu bagaimana hasilnya, kalau memang bagus kita taruh di stu lagi," ujar istri.
Beberapa hari kemudian, saya dan istri lantas berkunjung ke rumah Mbak Wati yang hanya berjarak satu desa dari rumah kami. Sembari membawa seragam yang belum dijahit, kami datang membawa harapan. Siapa tahu masih bisa.
Kami lantas bertemu Mas Siroj, suaminya. Dia menerima kami di ruang kerjanya. Di sebuah ruangan di teras rumah yang sudah 'disulap' layaknya show room alias tempat berkarya mereka.
Mas Siroj (53 tahun), lantas bercerita perihal banyaknya orderan jahitan yang harus ia selesaikan. Utamanya dari para orang tua yang menjahitkan seragam baru untuk anak-anaknya.
"Alhamdulillah tahun ini banyak (orderan). Kami sempat kewalahan bahkan sampai menolak," ujar Mas Siroj yang mengaku sudah lebih dari dua dekade menjalani profesi ini.
Dipercaya karena kualitas jahitan, hanya mau dibayar saat pekerjaan selesai
Sebenarnya, di desa pasutri pejahit ini, mereka tidak sendirian berprofesi menjahit.
Ada beberapa orang yang juga membuka jasa penjahitan. Ada tetangga satu RT. Ada pula warga baru di perumahan, ataupun penyewa ruko yang membuka jasa penjahitan.Â
Tapi, orang sudah terlanjur percaya dengan pasutri penjahit ini sehingga sulit berpaling.Â
Apalagi, pasutri ini memang orangnya welcome. Kalau kata anak muda sekarang, sikap mereka itu green flag.Â
Mereka menyenangkan bila diajak ngobrol. Karenanya, tidak heran bila pelanggan enggan berpaling dari mereka.