Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Steven Gerrard, Xavi, dan Pelajaran Menangkap Peluang "Naik Kelas"

27 November 2021   08:12 Diperbarui: 27 November 2021   11:20 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi Steven Gerard saat membawa Aston Villa mengalahkan Brighton di laga debutnya sebagai pelatih di Premier League/INICK POTTS/PA


Akan ada momen bagi setiap orang untuk 'naik kelas' dalam hidupnya. Naik ke level yang lebih tinggi. 

Frasa naik kelas itu bisa dalam wujud pencapaian karier dan pekerjaan yang lebih baik, bisa dalam  jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maupun kualitas kehidupan yang semakin membaik.

Seringkali, kesempatan itu datang tanpa permisi.

Kadang, ia datang terlalu cepat. Kadang pula lambat datangnya. Bila dikerucutkan, ada tiga kategori dari kita dalam hal merespons datangnya peluang ini.

Berbahagialah mereka yang ketika kesempatan naik kelas itu datang, mereka sudah dalam posisi siap. Kemampuannya siap. Mentalnya siap.

Ada pula yang merasa belum siap dan belum percaya diri dengan dirinya sehingga kesempatan yang datang itupun tidak diambilnya.

Ada juga yang nekad mengambil peluang itu meski dirinya belum sepenuhnya siap. Sebab, dia merasa bisa belajar banyak sambil menjalaninya. Learning by doing.

Mereka juga menganggap kesempatan tidak akan datang dua kali. Bila tida diambil, belum tentu di lain waktu kesempatan bagus itu akan datang lagi.

Xavi dan Gerrard mengambil kesempatan naik kelas

Saya yakin, dua pemain top di eranya, Xavi Hernandez dan Steven Gerrard yang kini menjadi pelatih, juga merasakan hal itu ketika kesempatan naik kelas itu datang menghampiri mereka.

Xavi (41 tahun), sejak pensiun bermain bola, dia melatih klub Qatar, Al-Sadd mulai Mei 2019 silam.

Reputasi bagusnya selama menjadi pemain, dia diteruskan saat melatih klub itu. Al-Sadd dibawanya meraih tujuh gelar hanya dalam waktu dua musim (2019-2021).

Hebatnya lagi, Al-Sadd dibawanya bermain dengan 'cara Xavi'. Permainan yang mengandalkan umpan-umpan pendek cepat seperti saat dirinya menjadi maestro lapagan tengah Barcelona.

Akhir Oktober lalu, Ketika Barcelona datang meminangnya untuk mengisi posisi pelatih yang lowong usai dipecatnya Ronald Koeman, Xavi jelas dalam posisi galau.

Dia sudah terlanjur cinta dengan Al-Sadd. Namun, godaan melatih klub yang menjadi separuh hidupnya, jelas sulit ditolak.

Dia pun menuruti kata hatinya. Kembali ke Barcelona sebagai pelatih dengan kontrak hingga Juni 2021. Awal November, sang legenda resmi melatih klub yang telah menjadikannya legenda. Bukankah itu terdengar sangat keren.

Cerita Gerrard pun begitu.

Selepas gantung sepatu, mantan kapten Liverpool ini mantap 'banting stir' menjadi pelatih. Bila kebanyakan rekan seangkatannya melatih di klub divisi bawah di Inggris, Gerrard berbeda.

Sempat dipercaya membesut tim akademi Liverpool, dia lantas menyeberang ke Skotlandia, melatih klub tenar yang sudah lama 'kering prestasi', Glasgow Rangers.

Di musim pertamanya 2018/19, meski hanya membawa Rangers jadi runner-up, tetapi timnya Gerrard mampu mengalahkan Celtic. Itu menjadi pesan bahwa sukses akan datang.

Dan benar, semusim kemudian, Rangers dibawanya meraih sukses. Musim 2020/21 lalu, Rangers jadi juara Premiership Skotlandia setelah kali terakhir juara pada musim 2010/11.

Awal November kemarin, klub Premier League Inggris, Aston Villa yang tengah butuh pelatih, datang meminangnya. Dia tidak menolaknya. Ia mengiyakan pinangan itu.

Gerrard paham, Premier League Inggris adalah kompetisi yang berbeda dari Premier League Skotlandia. Levelnya beda. Tentu saja, tawaran itu menjadi kesempatan baginya untuk naik kelas sebagai pelatih.

Memang, Gerrard jelas bermimpi kelak bisa melatih Liverpool, klub yang identik dengan dirinya. Namanya juga kerapkali disebut sebagai penerus Jurgen Klopp saat pelatih sukses asal Jerman itu selesai.

Toh, Aston Villa bisa menjadi pijakan bagus baginya. Sebab, untuk bisa melatih Liverpool tentu harus punya curriculum vitae yang bagus. Tak sekadar status mantan kapten.

Andai musim ini Gerrard bisa sukses bersama Aston Villa, minimal bisa membawa klub itu ada papan tengah klasemen Premier League, itu jelas akan menjadi branding bagus bagi karier kepelatihannya.

Tantangan Xavi tidak mudah

Namun, meski bermodalkan nama besar semasa menjadi pemain, bukan berarti mereka mendapat keistimewaan. Sebab, dunia pelatih di era kekinian, jauh lebih kejam dari pemain.

Tengok nasib yang pernah dialami Frank Lampard saat melatih Chelsea. Di awal musim 2020/21 lalu, legenda dan top skor sepanjang masa Chelsea ini dipecat karena dinilai tak mampu mengangkat perform tim yang membesarkan namanya.

Xavi dan Gerrard pun akan merasakan begitu. Mereka harus membuktikan bahwa mereka memang pelatih oke. Sebab, bila tidak, bukan tidak mungkin akan muncul tanda pagar #Xaviout atau #Gerrardout. Nasib mereka bisa seperti Lampard.

Menariknya, baik Xavi maupun Gerrard sama-sama mendapatkan tantangan yang tidak mudah dalam melakoni peran barunya. Utamanya Xavi.

Simak fakta berikut.

Xavi kembali ke Barcelona ketika kondisi klub Katalan itu sedang 'sakit'. Jauh berbeda dibandingkan di zamannnya dulu.

Situas di Barcelona memburuk di bawah pelatih Ronald Koeman. Mereka kini ada di peringkat 7 dari 13 pertandingan di Liga Spanyol musim 2021/22. Plus, tidak ada lagi Lionel Messi yang selama bertahun-tahun menjadi pemain andalan.

Xavi sudah memimpin Barcelona di dua pertandingan. Hasilnya lumayan. Dia membawa Barca menang 1-0 atas Espanyol di laga debutnya (21/11) sebagai pelatih di Liga Spanyol.

Sayangnya, Barcelona gagal menang saat menjamu Benfica di Liga Champions tengah pekan kemarin (24/11). Hanya bermain 0-0 di Camp Nou. Imbasnya, Barca kini terancam lolos ke babak 16 besar.

Di klasemen Grup E, Barcelona memang masih berada di peringkat 2 dengan raihan 7 poin. Unggul dua angka dari Benfica (5 poin) di peringkat 3.

Masalahnya, di laga terakhir pada 8 Desember mendatang, Barca akan away ke markas Bayern Munchen yang selalu menang di lima pertandingan dan sudah lolos.  Sementara Benfica akan menjamu Dynamo Kiev yang sudah dipastikan tersingkir.

Barcelona harus menang di markas Bayern Munchen, tim yang pada Liga Champions 2019/20 silam mengalahkan mereka dengan skor 8-2 di perempat final. Tentu, ini akan menjadi tantangan hebat bagi Xavi.

Andai Barcelona gagal menang sementara Benfica bisa mengalahkan Dynamo Kiev, maka Benfica-lah yang akan menemani Bayern ke babak 16 besar. Sementara Barca bakal 'turun kelas' ke kompetisi Liga Europa bila finish di peringkat tiga.

Ah, itu hanya andai-andai di atas kertas. Siapa tahu, Xavi bisa membuat kejutan dengan membawa Barca mengalahkan Bayern di kandangnya. Atau, Benfica ternyata gagal menang dari Kiev. Sehingga, Barcelona yang dipastikan lolos menemani Bayern.

Tapi yang jelas, sebelum meladeni Bayern, Xavi bakal memimpin Barcelona melakoni dua laga di Liga Spanyol. Yakni away melawan Villareal (28/11) dan menjamu Real Betis (4/12).

Siapa tahu, Barcelona bakal meledak di dua laga itu. Mungkin saja, catatan hanya mencetak satu gol di dua pertandingan, karena pemain-pemain Barca masih beradaptasi dengan cara main Xavi.

Gerrard ditantang membawa Aston Villa ke papan tengah

Tantangan bagi Steven Gerarrd juga tidak mudah. Sebab, dia datang ke Aston Villa ketika klub itu tengah dalam situasi 'sakit parah'.

Sebelum Gerrard datang dan menandatangani kontrak 3,5 tahun, Villa mengalami lima kekalahan beruntun di Liga Inggris yang membuat pelatih Dean Smith dipecat.

Aston Villa sempat berada di bibir zona degradasi. Di posisi 16 dengan hanya meraih 10 poin dari 11 pertandingan.

Dan, debut Gerrard sebagai pelatih di Premier League bak sebuah cerita dongeng happy ending. Akhir pekan lalu, dia memimpin Villa menang 2-0 atas Brighton and Hove Albion. Dua gol kemenangan Villa tercipta di menit ke-84 dan 89.

Malam nanti, Villa akan menghadapi tuan rumah Crystal Palace yang tidak terkalahka dalam 7 pertandingan terakhir (menang dua kali dan imbang dua kali).

Menariknya, Crystal Palace kini dilatih mantan gelandang Arsenal, Patrick Vieira yang merupakan pemain angkatan di atas Gerrard di Premier League. Pekan berikutnya, Gerrard akan menantang Manchester City nya Pep Guardiola.

Dan memang, Premier League itu kompetisi kelas berat. Di Liga Skotlandia musim lalu, Gerrard mampu membawa Rangers juara unbeatable (tidak terkalahkan) dengan memenangi 32 dari 38 pertandingan semusim. Pesaingnya memang tidak banyak. Palingan Glasgow Celtic, Hibernian, dan Aberdeen.

Namun, di Liga Inggris, dia akan bersaing dengan pelatih-pelatih top. Persaingan di Premier League juga sangat ketat.

Akan menarik ditunggu bagaimana kiprah Gerrard bersama Villa. Andai dia sukses di Villa, fans Liverpool kelak pastinya bakal berharap mantan kapten tim mereka, bakal kembali ke Anfield.

Pertanyaannya, apakah Xavi dan Gerrard sudah mengambil keputusan tepat ketika mengambil peluang untuk naik kelas?

Tepat atau tidak, parameternya adalah hasil tim yang mereka latih di akhir musim. Namun, apapun itu, mereka membuktikan berani menantang diri mereka sendiri. Berani mengambil peluang.

Sebab, bila kesempatan itu tidak diambil, entah ke depannya apakah peluang itu kembali datang atau tidak. Xavi dan Gerrard pasti juga mempertimbangka hal itu. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun