Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Jonatan Christie dan Seni Menjawab Nyinyiran

18 Oktober 2021   15:38 Diperbarui: 19 Oktober 2021   11:54 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain bulu tangkis tunggal Indonesia, Jonatan Christie (kanan), merayakan kemenangan setelah menang atas tunggal putra China, Li Shifeng dalam babak final Piala Thomas 2020, di Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Foto: Antara/Ritzau Scanpix via Kompas.com

Jonatan Christie belum genap berusia 5 tahun ketika Indonesia meraih Piala Thomas di Guangzhou, China, pada 2002 silam.

Ketika tim Piala Thomas Indonesia menang dramatis 3-2 atas Malaysia di final yang menjadi gelar ke-13 tapi lantas menciptakan kerinduan berkepanjangan.

Entah, Jonatan yang lahir pada 15 September 1997,  apakah ikut menyaksikan momen final 19 Mei 2002 itu melalui layar kaca televisi bersama keluarganya.

Entah, apakah momen itu yang lantas membuatnya jatuh cinta pada bulutangkis, seperti halnya anak-anak Indonesia yang di masa lalu mendadak demam badminton ketika ajang Piala Thomas digelar.

Tapi yang jelas, Minggu (17/10) tadi malam, berselang 19 tahun kemudian, Jojo--panggilan Jonatan, menjadi pahlawan yang ikut mengantar Indonesia meraih Piala Thomas 2020.

Sebuah smash menyilang Jojo memungkasi perlawanan tunggal putra China, Li Shifeng. Dia menang rubber game 21-1, 18-21, 21-16.
Kemenangan Jojo itu membuat Indonesia unggul 3-0 atas China dan memastikan Indonesia meraih Piala Thomas ke-14.

Perihal kemenangan Indonesia atas China di final ke-20 di Piala Thomas itu, silahkan mengulik tulisan saya sebelumnya di sini.

Jojo sempat jadi sasaran nyinyiran warganet

Keberhasilan membawa Indonesia jadi juara Piala Thomas ini punya banyak makna bagi Jonatan. Ini tentang pembuktian. Tentang seni menjawab kritikan dan nyinyiran.

Sebelumnya, Jonatan memang menjadi sasaran kritikan.

Dari 12 pemain putra yang masuk tim Piala Thomas Indonesia, mungkin Jonatan yang paling sering dinyiyirin warganet yang mayoritas merupakan pecinta bulutangkis di dunia maya.

Itu tidak lepas dari penampilannya yang loyo ketika Indonesia menghadapi Thailand di penyisihan grup.

Jonatan tak berdaya saat melawan pemain 20 tahun, Kunlavut Vitidsarn. Dia kalah 10-21, 14-21. Padahal, di game kedua itu, dia sempat unggul 14-11 tapi dibalik jadi 14-21.

Jojo pun jadi sasaran perundungan oleh warganet yang kecewa. Tidak sulit menemukan komentar negatif di kolom komentar beberapa akun media sosial yang mengabarkan Piala Thomas dan Uber 2020.

Intinya, mereka kecewa dengan penampilan Jojo. Mereka tidak terima, bagaimana bisa, pemain ranking 7 dunia, kalah mudah dari pemain belia ranking 25.

Ada warganet yang menyebut Jojo bermain klemar klemer alias malas gerak. Menyebut Jojo enggan main jatuh bangun di lapangan seperti halnya Anthony Ginting.

Malah, ada warganet yang menyebut Jojo lebih baik jadi selebgram ataupun main sinetron daripada atlet bulutangkis.

Yang paling menohok, dengan penampilan Jojo yang dianggap melempem itu, tim Thomas Indonesia disebut akan sulit melangkah jauh seperti halnya di Piala Sudirman lalu.

Toh, mereka boleh bicara apa saja. Meski, sejatinya itu hanya luapan kekecewan sesaat. Sebab, semua pecinta bulutangkis Indonesia pastinya berharap yang terbaik untuk Jonatan dan kawan-kawannya.

Jojo memberi jawaban di lapangan

Seolah mendengar kekecewaan dan harapan badminton lovers Indonesia, Jonatan lantas memberi jawaban ketika Indonesia menghadapi Taiwan di pertandingan terakhir penyisihan grup.

Jonatan Christie memeluk Piala Thomas. Jojo menjadi penentu kemenangan Indonesia atas China di final, Minggu (17/10) malam/Badminton Photo
Jonatan Christie memeluk Piala Thomas. Jojo menjadi penentu kemenangan Indonesia atas China di final, Minggu (17/10) malam/Badminton Photo

Indonesia harus menang bila ingin lolos ke perempat final. Namun, Taiwan punya tim yang oke. Mereka punya dua tunggal putra yang bagus. Malah punya ganda putra peraih medali emas Olimpiade 2020.

Skor 1-1 saat Jonatan main di game ketiga. Game krusial. Sebab, bila Jojo menang, peluang Indonesia untuk menang terbuka lebar dan menjadi juara grup.

Yang terjadi, Jonatan tampil berkelas. Permainanannya rapi. Minim error. Wang Tzu Wei (26 tahun), pemain ranking 11 dunia, dibuatnya mati gaya. Jonatan menang straight game 21-17, 21-13. Dan itu menjadi poin penting dalam kemenangan Indonesia, 3-2.

Kemenangan atas Wang Tzu Wei itulah yang menjadi titik balik penampilan Jonatan Christie di Piala Thomas. Berikutnya, kita melihat Jonatan yang berbeda.

Dia menjadi seorang pemain yang matang. Bermental tangguh. Mau jatuh bangun di lapangan. Dan, lapar menang.

Jonatan menjadi penentu kemenangan Indonesia 3-0 atas Malaysia di perempat final. Jojo yang main di game ketiha, menang rubber game atas Ng Tze Young (15/10).

Penampilan Jojo mencapai puncaknya ketika Indonesia bertemu Denmark di semifinal. Denmark punya dua pemain tunggal yang masuk ranking 5 besar dunia.

Jojo turun ketika skor 1-1. Dia bermain melawan Anders Antonsenm pemain ranking 3 dunia Sebelumnya, Ginting takluk dari Viktor Axelsen, sang peraih medali emas Olimpiade 2020.

Harapan besar ada pada Jojo. Sebab, bila dia menang, Indonesia kemungkinan besar bakal ke final karena unggul di nomor ganda yang dimainkan di game keempat.

Yang terjadi, Jojo mampu menang rubber game 25-23, 15-21, 21-16 dalam pertandingan selama 100 menit. Ya, 1,5 jam lebih. Itu salah satu game paling epik menurut saya dalam perjalanan Indonesia merebut Piala Thomas 2020 ini.

Benar saja, dengan kemenangan Jojo itu, Indonesia bisa ke final karena menang 3-1 atas Denmark usai memenangi game keempat.

Apresiasi untuk Jojo

Di final tadi malam, Jojo yang turun ketika Indonesia sudah unggul 2-0, sejatinya mendapatkan lawan yang tidak lebih sulit dari Antonsen. Sebab, Li Shifeng (21 tahun) memang bukan pemain top.

Persoalannya ada pada dirinya sendiri. Apakah cukup tenang menguasai  situasi. Tidak over pede. Tidak buru-buru.

Ketika Jonatan menang 21-14 di game pertama, sebenarnya sudah kelihatan bahwa dia bisa memenangi game ini. Namun, semangat tak mau kalah Li Shifeng membuat pertandingan ditentukan di game ketiga.

Tapi, itu hanya menunda kemenangan Jojo. Sebab, Jojo sudah menguasai lapangan. Tatapan matanya seolah mengitimidasi Li Shifeng yang menanggung beban berat harus menang demi bisa memperpanjang nafas tim China.

Apalagi, Jonatan yang biasanya dia dikenal sebagai pemain yang 'pelit' melakukan smash, di game ini justru beberapa kali melakukan smash dan menghasilkan poin.

Lucunya, ketika menghasilkan poin di depan net, Jojo cepat-cepat mengambil shutlecock meskipun ada di area lawan. Seolah sudah tidak sabar menuntaskan pertandingan dengan kemenangan. Hingga, sebuah smash menyilang Jojo, menjadi kegembiraan bagi seluruh pecinta bulutangkis di tanah air.

Satu hal yang mungkin luput dari pantauan kita, kemenangan Jojo itu tidak lepas dari kesiapannya. Bukan hanya siap mental. Tapi, kondisi Jojo benar-benar bugar.

Bayangkan, sejak main di perempat final, Jojo selalu melakoni pertandingan rubber game. Tiga game. Dan durasi pertandingannya cukup lama. Tentu saja melelahkan.

Yakni saat melawan Malaysia, melawan Denmark, dan di final semalam. Ketika melawan Antonsen di semifinal, jelas terlihat bahwa pemain Denmark itu sudah 'kehabisan batere' di game ketiga. Tenaganya habis. Tapi, Jojo masih bugar. Kondisi fisiknya luar biasa. Padahal, dia bermain beruntun dalam tiga hari.

Ya, dari Jonatan kita bisa belajar tentang seni menjawab kritikan. Bahwa, sebagai figur publik, dirinya menjadi sorotan dan mudah saja orang mengkritik bahkan menghujat ketika mereka kecewa.

Namun, Jonatan tidak baperan. Dia tidak mau terpuruk oleh kritikan. Sebaliknya, dia ingin menjawab nyinyiran orang-orang yang meragukan dirinya dengan penampilan hebat di lapangan. Hasil yang akhirnya bicara.

Kita harus mengakui, Jojo salah satu pemain terbaik tim Indonesia di Piala Thomas 2020 ini.

Dia pahlawan bulutangkis Indonesia. Persis seperti ketika Taufik Hidayat menjadi pahlawan Indonesia saat mengalahkan China 3-0 di final Piala Thomas 2000 ataupun Hendrawan di final Piala Thomas 2002.

Perjuangan Jojo dan caranya menjawab kritikan, layak diapresiasi. Dia layak jadi buah bibir, bukan melulu disindir.

Menariknya, dalam sebuah video pendek yang beredar di Instagram, seusai final tadi malam, Jojo diwawancarai oleh seorang reporter luar negeri.

Sang reporter bertanya, "Jojo, Anda sekarang seorang pahlawan, bagaimana komentar Anda?"

Jojo menjawab begini: "Semua pemain di tim ini adalah pahlawan. Termasuk fisioterapis dan juga dokter. Kami berjuang bersama-sama demi Indonesia".

Jawaban keren Jo.

Saya juga termasuk salah satu badminton lovers yang sempat gregetan melihat penampilan Jojo saat melawan Thailand. Sekadar kecewa. Tapi tidak sampai menghujat. Sebab, saya tahu Jojo pastinya sudah berusaha mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya.

Namun, saya lantas seringkali bertepuk tangan melihat penampilannya saat melawan Malaysia dan Denmark. Bahkan, tidak jarang berteriak sendiri "mantap Jo" ketika menyaksikan final tadi malam.

Ya, kepada Jojo, kita perlu belajar seni menjawab kritikan. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun