Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa kebahagiaan pernikahan itu tergantung dari usia pernikahan. Maksudnya, bila masih berstatus pengantin berbilang tahunan, akan dianggap sedang bahagia-bahagianya.
Sebaliknya, bila usia pernikahannya sudah melewati masa puluhan tahun, bahagianya dianggap sudah berkurang. Menipis. Pernikahan yang dulu indah, dicitrakan sudah habis bahagianya.
Pernikahannya dianggap sudah kering bahagia. Ada yang sudah tidak betah di rumah. Karenanya, tidak jarang lantas bercerai hanya karena masalah receh. Sepele. Bahkan, masalah kecil dibesar-besarkan karena memang ingin berpisah.
Alasannya sudah tidak ada kecocokan. Katanya sudah tidak saling cinta. Apalagi bila ada embel-embel urusan ekonomi. Padahal, semua masalah sebenarnya masih bisa dicarikan jalan keluar dengan cara bicara baik-baik.
Seperti tanaman, pernikahan perlu disegarkan agar tidak 'layu'
Apakah benar seperti itu?
Saya dulu juga pernah mendapatkan citra seperti itu. Dulu ketika masih berstatus pengantin baru, ada orang di tempat kerja yang sukanya nyinyir. Dia senang mengomentari urusan orang lain.
Ketika saya menikmati makan siang yang dibawakan istri, dibilang wajar pengantin baru makanya dibawakan bekal dari rumah. Ketika saat istirahat saya menelpon istri untuk bertanya kabar bagaimana hari ini, dibilang maklum masih pasangan baru.
"Biasa, kalau masih (pengantin) baru memang seperti itu. Seolah mesra terus. Tapi coba nanti lima tahun ke depan, gak bakalan kayak gitu," ujar si tukang nyinyir itu.
Padahal, ketika kini usia pernikahan saya sudah hampir berjalan 10 tahun, toh masih baik-baik saja. Tetap bahagia. Bahkan bertambah. Tidak berubah jadi kaku. Kalaupun tidak rutin membawa bekal seperti dulu, istri selalu mengingatkan untuk tidak lupa makan siang.
Karenanya, saya tidak pernah percaya ucapan orang bahwa kebahagiaan berumah tangga itu tergantung usia pernikahan. Sebab, mau bahagia atau tidak, sejatinya kita bisa menciptakannya dengan kedewasaan, nrimo ing pandum (mensyukuri apa yang ada).