Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

KPAI, PBSI, dan Pentingnya "Pembibitan Juara Dunia" Sejak Dini

13 September 2019   09:36 Diperbarui: 13 September 2019   09:49 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembibitan pemain sejak usia dini dengan mendekatkan anak-anak ke lapangan, menjadi tugas penting bagi PBSI. Sebab, menjadi juara dunia tidak bisa tiba-tiba juara/Foto: BBC.

Pencapaian paling maksimal apa yang pernah sampean (Anda) raih di usia 17 tahun? Prestasi terbaik apa yang pernah sampean dapatkan di usia 18 tahun?

Tentu saja, namanya pencapaian dan prestasi itu bagus. Apapun skalanya. Namun, bicara pencapaian paling maksimal dan prestasi terbaik, tentunya berkonotasi dengan seberapa besar gaung dari raihan tersebut.

Bahwa pencapaiannya bukan hanya di lingkup RT, desa, kecamatan, kampus, maupun nasional. Namun, levelnya sudah dunia. Lingkupnya adalah menjadi yang terbaik di dunia. Juara dunia.

Nah, dalam kaitan dengan anak muda yang menjadi juara dunia di usia belia, sampean mungkin pernah mendengar nama Gregoria Mariska Tunjung. Di usia 18 tahun 2 bulan 11 hari, perempuan manis asal Wonogiri ini menjadi juara dunia junior bulutangkis di tunggal putri.

Lalu ada nama Pitha Haningtyas Mentari yang menjadi juara dunia di usia 18 tahun 3 bulan 21 hari. Malah, anak muda asal Bekasi bernama Rinov Rivaldy yang kelahiran 12 November 1999, sudah jadi juara dunia ketika belum genap 18 tahun. Rinov bermain bersama Pitha dan menjadi juara dunia ganda campuran pada 22 Oktober 2017.

Daftar anak Indonesia yang menjadi juara dunia di usia muda itu akan bertambah panjang bila menyebut nama Leo Rolly Carnando. Pemuda kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini menjadi juara dunia di usia 17 tahun (hampir) 4 bulan. Bahkan, Indah Cahya Sari Jamil yang kelahiran Makassar 16 Maret 2002, jadi juara dunia di usia 16 tahun 8 bulan.

Leo dan Indah merupakan pasangan ganda campuran yang menjadi juara World Junior Championship 2018 alias juara dunia junior yang turnamennya digelar di Kanada pada November tahun 2018 lalu.

Karena 'pembibitan' usia dini bagus, Indonesia punya juara dunia junior sejak dulu kala

Tidak hanya di era sekarang, di zaman dulu, ketika dunia belum dijejali dengan gawai dan media sosial, sudah ada anak-anak muda Indonesia yang berhasil menjadi juara dunia junior di bulutangkis. 

Di tahun 1992 yang merupakan penyelenggaraan pertama BWF World Junior Championship di Jakarta, Indonesia punya tiga pemain juara dunia. Yakni Kristin Yunita, Budi Santoso, dan Kusno. Sayangnya, tidak ditemukan data tentang Kristin dan Kusno. Hanya Budi yang terlacak di laman wikipedia.

Budi Santoso yang kelahiran Klaten ini, jadi juara dunia di usia 17 tahun pada 1992 silam. Dia menjadi juara junior ganda putra ketika berpasangan dengan Kusno. Meski, di level senior, Budi Santoso dikenal sebagai pemain tunggal putra.

Budi merupakan didikan PB Djarum yang bergabung di klub bulutangkis tersebut sejak tahun 1982. Dia juga menjadi bagian tim Indonesia ketika meraih medali emas Asian Games 1998 dan menjuarai Thomas Cup 2002 di Guangzhou Tiongkok.

Dari keterangan singkat tersebut, kita jadi tahu seperti apa proses yang dijalani Budi untuk menjadi juara dunia di usia muda. Dia sudah menempa diri di lapangan bulutangkis di usia 7 tahun. Butuh waktu 10 tahun baginya untuk kemudian menjadi juara dunia.

Tidak hanya Budi, junior-junornya di masa kini juga menapaki jalur yang sama. Mereka semuanya mengasah kemampuan dengan berpeluh keringat di klub ketika usianya masih bocah. Karena memang, tidak ada juara dunia yang tiba-tiba juara. Semuanya berproses panjang. 

Bila Gregoria menempa dirinya di PB Mutiara Cardinal Bandung, Pitha mengasah bakat bulutangkisnya di klub PB Jaya Raya Jakarta, dan Rinov merupakan alumnus didikan PB Djarum.

Tentu saja, menjadi juara dunia bulutangkis itu tidak mudah. Sebab, bukan hanya Indonesia yang melakukan pembibitan pemain-pemain muda. Negara-negara lain pun melakukannya. 

Sejak dulu, Korea Selatan, Malaysia, apalagi Tiongkok, juga sangat serius menyiapkan bibit pemain muda di bulutangkis. Persaingan di level junior tidak kalah ketat dengan level senior.

Data bicara, sejak memiliki juara dunia 1992 tersebut, Indonesia sempat 'paceklik' anak muda yang bisa menjadi juara dunia junior di bulutangkis yang dulunya digelar dua tahun sekali. Baru pada tahun 2011 atau 19 tahun kemudian, Indonesia kembali punya juara dunia junior. Yakni lewat pasangan ganda campuran, Alfian Eko Prasetya/Gloria Widjaja.

Kala itu, Alfian, anak muda kelahiran Jakarta yang berasal dari PB Jaya Raya, baru berusia 17 tahun 3 bulan. Sementara Gloria, remaja kelahiran Bekasi yang bergabung di PB Djarum, berusia 18 tahun satu bulan.

Lantas, sejak saat itu, Kejuaraan Dunia junior digelar setahun sekali. Setahun kemudian, Indonesia kembali punya juara dunia junior. Kembali lewat ganda campuran, Edi Subaktiar dan Melati Daeva Oktavianti.

Edi, anak muda kelahiran Sidoarjo 13 Januari 1994 ini menjadi juara dunia di usia 18 tahun. Sebelumnya, Edi bergabung dengan PB Djarum pada tahun 2008 atau di usia 14 tahun. Sementara pasanganya, Melati Daeva yang kelahiran Serang, juga didikan PB Djarum.

Sempat empat tahun 'puasa gelar', Indonesia akhirnya kembali punya juara dunia junior pada tahun 2017 lewat Gregoria Mariska dan Rinov/Pitha. Disusul Leo/Indah pada tahun lalu. Keberhasilan menjadi juara dunia dalam dua tahun terakhir itu menjadi bukti, pembinaan usia dini di bulutangkis, sudah berjalan on track. Meski, tantangan kini semakin berat.

Bila melihat data, lawan-lawan kita kini bukan hanya Tiongkok dan Korea seperti dulu. Namun, Jepang kini juga punya juara dunia junior di ganda putra (2017). Malaysia punya juara dunia junior di tunggal putri 2018 untuk kali pertama dalam sejarah. Bahkan, Thailand punya juara tunggal putra selama dua tahun beruntun.

Dekatkan anak-anak ke lapangan, jangan malah dijauhkan

Merujuk pada hal itu, kita jadi tahu, betapa pembinaan pemain muda itu sangat penting. Karenanya, ketika mencuat kabar Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum Kudus akan menghentikan audisi umum pencarian bakat pada 2020 mendatang menyusul polemik dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), itu kabar yang membuat resah mereka yang 'punya hati' dengan bulutangkis. Terkait hal ini, pernah saya ulas dalam tulisan ini:
Mengapa Banyak Orang Berpihak pada PB Djarum, Bukan KPAI?.

Dari berbagai referensi berkelindan di media massa, saya memahami alasan yang dipakai KPAI ketika menyebut adanya esploitasi anak untuk promosi rokok secara terselubung dalam pelaksanaan audisi tersebut. Anggap saja, KPAI tengah menjalankan tugasnya dalam upaya demi menjauhkan anak-anak dari ancaman bahaya rokok.

Ya, bila ranahnya bahaya rokok pada anak-anak, saya sepakat. Saya bukan perokok. Sejak bocah hingga kini memiliki dua anak, saya tidak pernah merokok. Saya juga paling tidak suka ketika melihat orang tua merokok di dekat anak-anak sehingga membuat mereka terpapar asap rokok. 

Bagi saya, orang tua yang merokok di dekat anak-anaknya, berarti mereka tidak sadar telah membahayakan keselamatan anak-anaknya. Tentang hal ini, pernah saya ulas dalam tulisan Matikan Rokokmu Saat bersama Buah Hatimu

Namun, saya tidak sepakat bila upaya menjauhkan anak-anak dari pengaruh rokok, justru dilakukan dengan 'menjauhkan' anak-anak dari lapangan bulutangkis. Andai audisi tidak ada lagi, mimpi anak-anak yang bercita-cita menjadi atlet bulutangkis dengan ingin memperlihatkan kemampuannya lewat audisi umum tersebut demi harapan bisa mendapatkan beasiswa bulutangkis, tentunya akan ikut pudar. Singkat kata, monggo menjauhkan rokok dari anak-anak, tapi jangan stop audisinya.

Memangnya ada suara agar audisi bulutangkis tersebut dihentikan? Bukannya KPAI sempat menegaskan bahwa bukan audisinya yang dihentikan, tetapi eksploitasi anaknya?

Namun, kenyataannya, di beberapa media maupun media sosial, sempat beredar adanya surat permintaan penghentian kegiatan audisi tersebut. Dikutip dari newsdetik.com, surat yang diteken langsung Ketua KPAI tersebut berbunyi begini.  

"Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak, khususnya terhadap perlindungan anak sepenuhnya dari bahaya rokok dan eksploitasi, KPAI meminta kepada Pimpinan Djarum Foundation untuk menghentikan kegiatan audisi Badminton Djarum Foundation yang akan dilaksanakan di beberapa kota pada bulan Juli-November 2019 guna melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi industri rokok" seperti dikutip dari Detik.

Gaduh polemik "audisi" akhirnya berakhir teduh

Kabar bagusnya, gaduh KPAI dan audisi umum PB Djarum itu akhirnya mereda. Kemarin, polemik yang sempat membuat warganet dan masyarakat terbelah antara pro KPAI dan pro audisi ini akhirnya mendapatkan titik terang. Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) turun tangan.

Kamis (12/9) kemarin, di kantor Kemenpora, dengan dimediasi Menpora Imam Nahrawi, hadir perwakilan dari KPAI dan PB Djarum, sekaligus dari Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang diwakili Sekjen, Achmad Budiharto. Mereka bertemu untuk merumuskan kesepakatan bersama.

Dilansir dari bolasport.com, pertemuan itu menghasilkan beberapa poin kesepakatan. Dari hasil mediasi tersebut, disepakati bahwa Djarum Foundation sepakat untuk mengubah nama yang semula bernama "audisi umum beasiswa PB Djarum 2019" menjadi "audisi umum beasiswa bulu tangkis" tanpa menggunakan logo, merek, dan brand image Djarum. Sementara pihak KPAI sepakat untuk mencabut surat KPAI tanggal 29 Juli 2019 tentang permintaan pemberhentiaan audisi Djarum seperti dikutip dari Bolasport. 

Dari kesepakatan tersebut, kita tahu bahwa poin utamanya adalah audisi tahun 2019. Lalu, bagaimana dengan audisi umum 2020 mendatang yang sempat mencuat kabar tidak akan digelar karena tahun ini merupakan yang terakhir?

Perihal hal ini, Kemenpora, KPAI, dan PBSI memberikan kesempatan kepada PB Djarum untuk melakukan konsolidasi secara internal mengacu pada kesepakatan yang disepakati. Harapannya, audisi pada 2020 dan tahun-tahun berikutnya tetap jalan terus dengan memperhatikan kesepakatan tersebut.

Pembinaan berkelanjutan menjadi tantangan bagi PBSI

Dengan adanya kesepakatan tersebut, polemik masalah ini sudah sepatutnya diakhiri. Semua pihak yang sempat terseret dalam pusaran polemik tersebut, sebaiknya mencurahkan energi dan pikiran untuk kembali fokus pada tugas masing-masing. Toh, semuanya masih punya "pekerjaan rumah" yang harus diberesi.

Khusus untuk pembinaan pemain muda di bulutangkis, tentu saja tidak hanya melibatkan satu klub saja. Tak hanya PB Djarum. Masih ada PB Jaya Raya Jakarta, Mutiara Cardinal Bandung, PB Tangkas, PB Exist, maupun Suryanaga Surabaya. 

Keberadaan banyaknya perkumpulan bulutangkis tersebut tentunya menjadi berkah bagi bulutangkis Indonesia. PBSI sebagai induk organisasi, tinggal memantau dan mengasah lagi bibit-bibit unggul di bulutangkis. Namun yang jelas, untuk memiliki pemain bulutangkis yang berprestasi di tingkat dunia, tidak selesai di level junior. Harus ada pembinaan berkelanjutan.

Kini, tantangan bagi PBSI adalah bagaimana agar pemain-pemain yang menjadi juara junior itu tidak menjadi 'layu sebelum berkembang'. Sebab, ketika mentas dari level junior, mereka akan menghadapi persaingan yang tentu saja akan jauh lebih berat. Pemain-pemain dari negara lain tentu terus menempa diri untuk menjadi yang terbaik di dunia. Pendek kata, lawan-lawan mereka semakin tangguh.

Apalagi, fakta bicara, meski punya beberapa pemain yang pernah menjadi juara dunia di level junior sejak tahun 1992 silam, tetapi belum ada satupun pemain itu yang kemudian bisa menjadi juara dunia di level senior.

Dalam hal pembinaan berkelanjutan ini, Tiongkok-lah yang paling berhasil. Nama-nama pemain seperti Chen Long, Li Junhui, Liu Yuchen, Chen Qingchen, Jia Yifan dan Zheng Siwei yang pernah jadi juara dunia junior, lantas melengkapinya dengan gelar juara dunia di level senior. Sementara Jepang punya Nozomi Okuhara dan Kento Momota. Serta Thailand punya Ratchanok Intanon.

Rata-rata mereka butuh waktu tiga tahun hingga lima tahun untuk bisa menjadi juara dunia level senior. Bila seperti itu, masih ada waktu bagi Gregoria Mariska, Rinov dan Pitha serta Leo dan Indah untuk terus berproses menempa diri. Begitu juga dengan Gloria dan Melati yang kini punya pasangan baru di lapangan.

Pada akhirnya, semoga momen di kantor Kemenpora kemarin, menjadi momentum untuk menguatkan kembali tekad dalam pembinaan pemain usia dini dengan melakukan penjaringan bibit-bibit potensial secara berkelanjutan. Semoga kabar tersebut, semakin membuat PBSI dan pebulutangkis kita, termotivasi untuk memberikan kebanggaan bagi Indonesia di pentas dunia. Salam.  

Referensi: 

Detik
Bolasport

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun