Namun, itu saja kenangan yang bisa saya dapatkan dari pertemuan dengan Bang Rudy Badil yang memang hanya beberapa jam. Padahal, sejujurnya, selain konservasi, saya tertarik ingin diceritani beliau perihal pengalaman-pengalaman hebatnya selama 32 tahun menjelajah Indonesia sebagai wartawan Kompas.
Sosok yang dekat dan dicintai banyak orang
Perihal kecintaan Rudy Badil terhadap konservasi, kepingan cerita mbak Titik dalam tulisannya, bisa menjadi penjelas. Dalam tulisan yang ketika membacanya bikin mata berembun itu, Mbak Titik menulis begini:
"Meski kaki sudah pincang karena stroke ketambahan ditabrak motor, dirimu tetap jalan, tetap datang di acara-acara konservasi, tetap menulis. Bahkan tahun lalu, masih bermobil dari Jakarta-Prigen dengan Patar dan Mas Ipung untuk menulis buku Tiga Macan Safari. Bermobil!"
Mbak Titik yang dulunya bekerja di Majalah Flona dan bergabung di FOKSI sejak tahun 2004 (bahkan ketika saya belum lulus kuliah), juga menulis begini: "Bang Badil bisa mengakses narasumber sulit. Hanya dengan password namanya, saya bisa melenggang dan aman. Ingat nggak, Bang, suatu hari menelepon untuk mengajak ke Kalimantan besok. Iya, besok. Ke sebuah penangkaran red arowana".
Dia juga bertutur panjang lebar perihal sepak terjang Rudy Badil di ranah konservasi satwa liar yang menandai banyak moment penting. Menurutnya, FOKSI hanya salah satunya. Dari FOKSI ini, Bang Badil juga menginisiasi lahirnya APCB (Asosiasi Penangkar Curik Bali).
Kala itu, harga Curik Bali sempat melangit. Saya pernah mendengar dan menelusuri kebenaran kabar seekor Curik Bali harganya bisa mencapai Rp 20-25 juta. Karenanya, satwa ini sempat jadi buruan. Terkait keberadaan APCB itu, Mbak Titik lantas menulis begini:
"Sebuah konsep konservasi dengan pendekatan penangkaran. Jadi, para penangkar jalak suren yang karakternya dekat dengan curik bali diberi indukan untuk menangkarkan. Kemudian sukses, pasar pun dibanjiri curik bali hasil tangkaran ini sehingga harganya anjlok. Sehingga penangkapan di habitat aslinya menurun drastis".
Singkat kata, meski hanya sekali mengikuti Owaka dan sebentar saja bergabung di Foksi, tetapi saya bisa merasakan energi besar Bang Rudy Badil dan kecintaannya pada konservasi. Salah satu pesannya yang abadi adalah agar kami menjadi wartawan terhormat yang tidak meminta-minta.
"Itulah alasannya, kenapa FOKSI tidak pernah bikin kartu anggota. Salah satunya, agar kami tidak gratis ketika masuk TSI kalau tidak untuk kepentingan liputan. Itu pun dicontohkan Bang Badil. Bang Badil tetap membayar ketika masuk TSI, meski semua pasti kenal siapa dia," tulis Mbak Titik.
Pada akhirnya, segagah dan punya semangat sebesar apapun Bang Rudy Badil, seperti kata Soe Hok Gie, kita ini hanyalah makhluk kecil yang akan kembali (ke Sang Pencipta). Dari tiada ke tiada.