Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kita dan Tantangan Merawat "Warisan" Ramadan

7 Juni 2019   15:48 Diperbarui: 7 Juni 2019   15:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Dalam sebuah riwayat yang sering disampaikan para ustadz dalam tausiyahnya, dikisahkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW pernah dicurhati oleh seorang laki-laki fasik--orang yang gemar melakukan perbuatan dosa. Laki-laki fasik itu menyampaikan kepada nabi bahwa dirinya ingin bertobat. Dia lalu bertanya tentang amalan apakah yang harus dilakukannya.

Mendapati pertanyaan tersebut, Rasulullah memberikan "tips sederhana" bila ingin berhenti bermaksiat. Rasulullah memintanya untuk tidak berbohong. 

Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, laki-laki itu langsung menyanggupi karena merasa syarat tersebut mudah saja untuk dilakukan. Dalam hati dia bergumam: "kalau untuk tidak berbohong saja, apa susahnya".

Setelah berpisah dengan Rasulullah, laki-laki itu kemudian mendapati beberapa situasi yang menggodanya untuk bermaksiat. Namun, setiap hendak berbuat dosa, dia teringat pesan Rasulullah untuk tidak berbohong.

"Bagaimana nanti kalau saya bertemu Rasul dan ditanya apakah sudah berhenti bermaksiat, padahal saya sudah berjanji untuk tidak berbohong," pikirnya.

Dia pun urung melakukan maksiat. Di kesempatan berikutnya, situasinya juga kembali seperti itu. Setiap kali tergoda berbuat dosa, dia teringat pesan Rasulullah dan tak jadi melakukannya. Hingga akhirnya dia pun berhenti bermaksiat.

Lantas, ketika kembali bertemu Rasulullah, dia menceritakan apa yang dialaminya. Dia tersadar betapa 'syarat' dari Rasulullah untuk tidak berbohong itu ternyata 'kuncinya' bertobat. 

Sebab, setiap kali ingin berbuat dosa, dia seperti memiliki rem yang mencegahnya. Dia juga merasa malu bila kembali bertemu Rasulullah tetapi masih belum berubah.

Ramadan mewariskan sikap merasa malu dan merasa diawasi

Kisah laki-laki fasik yang akhirnya bertobat karena tidak mau berbohong bila tidak bermaksiat itu selaras dengan semangat yang diwariskan Ramadan kepada kita. 

Bukankah selama berpuasa Ramadan, kita juga memiliki "rem" yang mencegah kita berbuat dosa karena merasa diawasi oleh Yang Maha Melihat. Jangankan berbuat dosa, perbuatan halal tetapi bisa membatalkan puasa, kita pun enggan melakukannya.

Ambil contoh di siang hari selama Ramadan, meski ada sebotol minuman segar di lemari es dan kebetulan tidak ada orang di rumah, tetapi kita tidak mau meminumnya. Sebab, kita tahu itu akan membatalkan puasa.

Padahal, bisa saja kita meminumnya lantas melanjutkan puasa. Toh, tidak ada yang tahu kalau kita hanya berpura-pura puasa karena sudah berbuka duluan. Namun, kita tidak mau melakukannya. Sebab kita merasa diawasi oleh Yang Maha Mengawasi.

Sikap merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga kita mengerem diri dari melakukan perbuatan yang tidak boleh inilah yang menjadi 'warisan' penting Ramadan. 

Warisan untuk merenovasi mental kita yang selama ini masih mudah tergoda berbuat salah hanya karena beralasan tidak ada yang melihat.

Bila setiap orang mau meresapi warisan Ramadan dalam kehidupan sehari-hari dengan merasa diawasi dan merasa malu bila melanggar aturan, rasanya tidak akan ada orang yang berani melanggar traffic light lalu lintas hanya karena merasa tidak ada polisi. 

Rasanya tidak ada lagi yang berani menukar sandal setelah Sholat Jumat. Rasanya tidak akan ada lagi orang yang tega berbelanja di tukang sayur di pasar dengan menggunakan uang palsu.

Bahkan, dalam skala lebih besar, bila setiap orang memiliki rasa malu berbuat salah dan merasa diawasi, kasus korupsi akan sepi. Pun, tidak ada lagi cerita mark up anggaran besaran nilai proyek atau menyunat anggaran program masyarakat untuk memenuhi nafsu serakahnya.

Ramadan mengajari kita untuk tidak malas

Sebulan berpuasa, kita juga diajari oleh Ramadan untuk tidak bermalas-malasan. Kita jadi terbiasa bangun pagi sebelum Shubuh untuk makan sahur. Tak ada cerita bangun kesiangan. Faktanya, selama Ramadan, jamaah Shubuh di masjid jauh lebih banyak dibandingkan hari di luar Ramadan. 

Kita juga jadi lebih rajin sholat berjamaah tepat waktu di masjid. Bila biasanya, kita malas untuk memenuhi panggilan adzan, maka di bulan Ramadan, kita mudah sekali tergerak untuk melangkahkan kaki ke masjid demi sholat berjamaah.

Andai warisan Ramadan ini bisa terus kita kerjakan, kita akan menjadi orang yang produktif sekaligus disiplin. Kita jadi terbiasa bangun pagi, lantas bersiap menghadapi hari dengan lebih baik.

Ramadan mengedukasi kita untuk peduli pada orang lain

Warisan penting Ramadan yang juga penting untuk terus kita lakukan adalah kemauan untuk peduli pada orang lain. Di bulan Ramadan, ada banyak orang yang senang berbagi pada sesamanya.

Ada banyak orang yang mau menyisihkan duitnya demi bisa berbagi takjil dengan pengendara di jalan, menyediakn takjil untuk jamaah di masjid, melakukan santunan dan bakti sosial untuk anak-anak yatim piatu, lantas membersihkan harta dengan zakat fitrah.

Mengapa ada banyak orang senang berbagi selama Ramadan? 

Menurut saya jawabannya bukan karena ada banyak orang yang mendadak kaya di bulan Ramadan. Namun, semangat Ramadan agar kita ikut merasakan tidak enaknya seharian lapar dan haus, telah memunculkan empati pada banyak orang yang mengalaminya. Terlebih, berbagi pada orang lain memang tidak perlu menunggu kaya. 

Bila sikap peduli pada orang lain itu terus hidup di luar Ramadan dengan bentuk yang berbeda, yakinlah bahwa angka kemiskinan di negeri ini akan bisa terus berkurang. Sebab, bukan hanya negara, kita juga tergerak untuk ikut mengurangi kesenjangan di masyarakat.

Selain itu, warisan Ramadan agar kita menjaga mulut untuk tidak memfitnah, membicarakan aib orang lain ataupun memanggil dengan panggilan buruk karena takut pahala puasa kita berkurang, perlu terus dilanggengkan.

Begitu juga menjaga jemari untuk tidak menulis tulisan jahat di media sosial dan membagikan berita hoaks, perlu untuk terus kita rawat.

Pada akhirnya, Ramadan memang sudah meninggalkan kita. Namun, warisan Ramadan berupa nilai-nilai mulia dalam berperilaku, semoga bisa terus kita hidupkan dalam keseharian kita. Semoga kita bisa merawat warisan Ramadan demi merenovasi mental kita yang sebelumnya masih labil.

Tentu saja tidak mudah untuk merawat semangat Ramadan. Namun, selama ada niat yang kuat, rasanya tidak ada yang sulit.

Teriring doa, semoga kita bisa kembali dipertemukan dengan Ramadan dan Idul Fitri tahun depan. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun