"Bila melihat situasi yang terjadi sekarang, saya jadi kangen sama Gus Dur".
Begitu tulisan status beberapa kawan saya di akun media sosial mereka beberapa waktu lalu. Ungkapan kerinduan pada Gus Dur itu rupanya mereka posting merespons beberapa peristiwa yang terjadi di negeri ini membuat mereka lantas teringat Gus Dur. Seperti munculnya masalah intoleransi agama, hingga memanasnya situasi politik yang berimbas gegeran di masyarakat dunia nyata dan dunia maya.
Kenapa kangen Gus Dur?
Sudah hampir sedekade, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meninggalkan kita. Namun, sebagai tokoh muslim terkenal di Indonesia, almarhum Gus Dur meninggalkan kenangan bagi banyak orang. Termasuk bagi saya.
Tentu saja, dengan beberapa 'peran' yang pernah dijalaninya semasa hidup, sebagai kiai, kepala keluarga, pemimpin politik dan juga presiden keempat RI, boleh jadi tidak semua orang senang dengan dia.Â
Karena memang, sebagai pemimpin, rasanya tidak mungkin untuk bisa menyenangkan semua orang. Sebab, dalam setiap keputusan dan kebijakan yang diambil, terkadang terselip kepentingan dua orang/kelompok dengan urusan berseberangan.
Namun, apapun itu, Gus Dur tetap meninggalkan kenangan bagi banyak orang. Mungkin karena kekaguman mereka pada kepedulian Gus Dur terhadap persoalan HAM. Mungkin karena keberanian Gus Dur dalam membela kaum minoritas agar kembali memperoleh hak-haknya. Mungkin juga karena keputusan Gus Dur menjadikan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional yang diikuti pencabutan larangan pengunaan huruf Tionghoa.
Atau juga karena sifat humoris Gus Dur yang masih lekat diingatan kita. Karena memang, bicara tentang guyonan, selama hidupnya, Gus Dur banyak melontarkan kata-kata lucu yang membuat banyak oran tertawa. Kelakar Gus Dur tersebut bahkan masih mudah kita temui lewat mesin pencari.
Kenangan mewawancara Gus Dur
Saya pribadi pernah merasa 'dekat' dengan Gus Dur. Dekat dalam artian banyak membaca buku-buku maupun berita tentang Gus Dur. Penyebabnya karena judul skripsi saya yang menyoroti perihal kegagalan Gus Dur melewati pemeriksaan medis sehingga KPU menolak memasukkannya sebagai calon presiden di Pilpres 2004. Â
Kala itu, saya menyoroti masalah tersebut melalui analisis framming dalam pemberitaan dua media besar nasional. Seingat saya, di Kompas dan Jawa Pos. Tak sia-sia, karena skripsi saya tersebut mendapat nilai A yang seperti menjadi happy ending dari sebuah perjuangan.