Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Setelah 34 Tahun dan Tabloid BOLA Berpamitan, Kenapa?

17 Oktober 2018   22:19 Diperbarui: 18 Oktober 2018   20:24 4439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca sekumpulan pesan yang berkelindan di media sosial jadi pilihan menarik untuk mengisi jeda ketika bekerja menulis. Meski, pilihan itu malah sering berasa hambar. 

Hambar karena pesan yang berseliweran di media sosial sekadar memajang argumen tentang politik ataupun olahraga yang sekadar berdebat tanpa santun. Malah terkadang dibumbui adu komentar mengerikan yang seperti perang.

Namun, malam ini, jeda itu seperti sebuah melankoli. Tatapan mata saya tertuju pada beberapa status para wartawan senior yang mengabarkan tentang akan "tutup usia" nya Tabloid BOLA. Membacanya serasa haru. Ya, BOLA yang telah melintas generasi selama 34 tahun itu akan berpamitan kepada pembacanya.

Wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy di akun Facebooknya menulis kalimat begini: "Ikut sedih Tabloid Bola akan berhenti terbit. Selalu menikmati berbagai laporan olahraga yang menarik sejak tabloid ini menjadi sisipan Harian Kompas sampai akhirnya berpisah dari induknya".

Sementara wartawan senior olahraga yang juga pernah menjadi bagian dari Tabloid BOLA, Hardimen Koto menulis tulisan agak panjang tentang kepingan kenangan dan pengalamannya bersama Tabloid BOLA (untuk selanjutnya saya tulis dengan kata BOLA saja).

"Sedih banget mendengar BOLA harus berhenti bergulir. Karena BOLA pernah menyodorkan pengalaman hebat dan dahsyat: mengirim saya kemana-mana--- antara lain, dari Jepang hingga Jerman; dari Inggris hingga Italia; dari Thailand hingga Tunisia.

Dan banyak lagi negara lain. Semuanya menyisakan cerita-cerita hebat; dicopet di Genoa, diseret polisi di Muenchen, diboongin imigran Iran di Tokyo, keujanan tengah malam di London, dimintain lensa ama jurnalis Nigeria di Tunis..

Gak sabar juga menanti edisi terakhir 23 Oktober: kawan2 menulis apa aja yak? Bangga pernah menjadi bagian kecil dari perjalanan hebat tabloid BOLA.

BOLA di hati ini..Terukir. Selalu.."

Ah, mendadak jadi ikut sedih. Meski saya tidak pernah tahu sejarah awalnya seperti halnya Pak Budiarto Shambazy dan juga tidak pernah menjadi bagian langsung dari BOLA seperti halnya Bung Hardimen Koto, sebagai pembaca saya juga punya kenangan cukup panjang terhadap tabloid yang mulai terbit pada 3 Maret 1984 ini.

Saya mulai rutin membaca BOLA ketika menjadi siswa SMA. Sekitar tahun 1996-an. Kalau tidak salah ingat, BOLA yang terbit setiap Selasa dan Jumat, kala itu harganya masih 1500. Butuh perjuangan untuk mendapatkannya.

Tak hanya harus menyisihkan uang saku sekolah yang tidak seberapa, tetapi jarak rumah ke kios koran yang menjual BOLA, lumayan jauh. Kalau naik sepeda onthel sekira 20 menit perjalanan.

Memang ada kios koran yang tidak jauh dari rumah, tetapi kios tersebut tidak menjual BOLA. Setiap Selasa dan Jumat, sepulang sekolah, saya mampir ke kios koran tersebut. Biasanya naik sepeda. Lain waktu, biasanya sore hari menaiki angkutan desa yang melintas di jalan depan rumah. Rasanya sedih bukan kepalang ketika sampai di kios koran ternyata BOLA nya sudah habis.

BOLA-lah yang mengenalkan saya pada (informasi) seputar bola dan bahkan jatuh cinta pada sepak bola. Saking cintanya, dulu setiap lembar buku tulis saya, saya "hiasi" dengan tulisan nama-nama pemain bola di bagian pojok atasnya. Beberapa lembar edisi BOLA pun masih tersimpan rapi hingga kini di rumah ibu. Utamanya yang memuat AC Milan, tim idola.

Dari BOLA, saya tidak hanya 'melek bola'. Saya juga jadi cinta menulis tentang sepak bola. Kecintaan yang akhirnya 'membelokkan' cita-cita saya. Dari yang awalnya berniat menjadi ahli teknik kimia--karena anak IPA--lantas bermimpi menjadi wartawan olahraga.

Cita-cita yang akhirnya kesampaian setelah lulus kuliah. Meski tidak bekerja di BOLA, tetapi pernah diterima bekerja di "pabrik koran" yang masih merupakan keluarga besar Kompas Gramedia--satu 'kerabat' dengan BOLA. Meski berita yang disajikan tidak melulu olahraga.

Saya masih ingat ketika di pekan pertama bekerja, editor saya bertanya tentang keinginan saya mau ditugaskan di desk (bidang liputan) apa. "Kamu mau di kota (pemerintahan/politik) atau olahraga?". Bagi saya, jawaban dari pertanyaan itu tidaklah sulit. Saya pun akhirnya menulis berita-berita olahraga selama beberapa tahun, lantas berpindah menulis politik pemerintahan.

Namun, passion untuk menulis olahraga tidak tergantikan meski juga sempat jatuh cinta menulis bidang yang lain. Dan, BOLA-lah yang telah menumbuhkan kecintaan pada olahraga.

Sebenarnya, apa sih yang membuat BOLA bisa dicintai banyak pembacanya?

Ada banyak jawaban yang bisa dimunculkan. Selain karena ulasan preview dan review pertandingan yang gaya BOLA, kaya informasi, ulasan langsung dari arena yang sangat lengkap, hingga kartun Si Gundul di halaman akhir sebelum penutup tabloid, yang selalu bikin tertawa.

Dulu, saya paling suka membaca ulasan-ulasan wartawan senior, Sumohardi Marsis dan juga Arief Natakusumah, Broto Happy maupun Arif Kurniawan. Tulisannya berbobot. Kaya informasi dan sangat menguasai bidang yang mereka tulis.

Saya punya bukunya mas Arief Natakusumah berjudul "Drama Itu Bernama Sepak Bola (Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya", yang menurut saya buku wajib untuk dibaca penulis sepak bola selain trilogi Catatan Sepak Bola Sindhunata yang melegenda itu.

Kata seorang kawan wartawan olahraga, Arief Natakusumah itu salah seorang wartawan peletak dasar football writing. Analisa sepak bolanya selalu detail dan bahkan dibumbui selipan sastra, seni, budaya bahkan politik. Kalau saya kangen tulisan-tulisannya mas Arief, buku bersampul hijau setebal 334 halaman itu pun saya baca ulang.

Dan memang, bagi saya, seperti tulisannya Mas Arief itulah seharusnya sebuah tulisan sepak bola. Tidak melulu soal strategi permainan, data statistik, dan komentar kalah menang. Pembaca perlu disuguhi informasi tambahan, tidak hanya tentang bola. Karena, lapangan bola sendiri pada hakikatnya merupakan sebuah "teater mini kehidupan".

Meski, kecintaan pada BOLA bukan berarti menenggelamkan kritikan. BOLA juga bukannya tanpa cela. Saya sempat merasa gaya jurnalisme Bola itu cenderung dictating, seperti menggurui. Terutama sepanjang 1990-an dulu.

Mungkin itupula yang membuat BOLA merasa terlalu percaya diri. Hingga akhirnya lupa berinovasi. Ketika koran-koran umum harian berlomba menambah halaman olahraga dengan tampilan visual yang kian berani dan tidak lagi kaku, sejak itu banyak orang yang pelan-pelan mulai merasa: "ngapain harus nunggu BOLA yang terbit cuma dua kali seminggu untuk membaca berita-berita dan menikmati suguhan foto serta infografis yang tidak jauh beda".

Ada beberapa kawan termasuk yang bersikap demikian. Mereka akhirnya tidak lagi setia dengan BOLA. Dan, kondisi itu menurut saya diperburuk keputusan BOLA yang terlambat untuk menjadi media harian.

Memang, sekira tahun 2014 silam, Tabloid BOLA pernah menerbitkan Harian BOLA. Saya masih ingat, dulu ketika berangkat kerja pagi, saya selalu mampir ke kios koran untuk membeli "adik" dari Tabloid BOLA tersebut. Selain karena harganya yang murha (1500), tulisannya juga ringan tapi tetap cukup kaya informasi. Pada akhirnya, Harian Bola juga "tertidur untuk selamanya" pada akhir Oktober 2015 silam.

Sampai akhirnya berita sedih itu ternyata datang: Selasa depan (23/10) akan jadi edisi terbitan BOLA terakhir. Ya, Tabloid BOLA ternyata menyusul "adik" nya. Tertidur

Dulu, ketika Harian BOLA berpamitan, menurut saya ada beberapa penyebab. Kalau ada yang menyebut Harian Bola kalah bersaing dengan kompetitornya, mungkin ada benarnya. Bicara koran olahraga yang sifatnya harian, ada Top Skor yang sudah "buka jalan" lebih dulu dibanding Harian Bola.

Toh, Harian Bola tetap punya pengaruh karena nama besar BOLA. Termasuk rivalitas di internal Kompas Gramedia Group dengan kemunculan Super Ball dari Tribunnews Group. Ketiganya memancing di kolam yang sama karena segmentasi pembaca yang diincar nyaris sama. Namun, saya kok menilai itu bukan faktor terbesarnya.

Saat ini, bisnis koran olahraga memang tidak mudah. Tingkat persaingannya luar biasa. Bukan melulu persaingan dengan sesama tabloid/koran, tetapi karena keberadaan media online dan sosial media yang bisa diakses via smart phone, termasuk juga televisi.

Saya ambil contoh kasus, dulu di Surabaya ada koran Surabaya Post yang terbit sore. Koran ini terbit sore 'sendirian' dibanding media lain yang kompak terbit pagi hari. Terbit sore sendirian sebenarnya berisiko karena psikologis orang ketika sore, energi membacanya tidak sesegar pagi hari. Namun, Surabaya Post kala itu punya keunggulan. Utamanya terkait berita olahraga. Bila ada hasil-hasil pertandingan Liga Champions, atau turnamen Piala Eropa dan Piala Dunia yang main dini hari waktu Indonesia, pembaca sudah bisa membaca beritanya sore hari, tidak perlu menunggu esok hari.

Hanya saja, ketika smart phone merajalela, keunggulan Surabaya Post di berita olahraga itu pun tereduksi. Tidak ada lagi keunggulan.

Menurut saya, 'lawan utama' koran olahraga di era sekarang lebih kepada bergesernya "gaya hidup". Sekarang, untuk melihat hasil Liga Champions ataupun MotoGP yang dimainkan dini hari, kita yang tertidur sehingga tidak menonton langsung lewat televisi, tak perlu menunggu sampai siang. Sambil tiduran di kamar tidur pun, kita sudah bisa membaca beritanya langsung seketika itu juga.

Bahkan, dengan bantuan Twitter ataupun Instagram, bila kita men-follow akun tim-tim Eropa, kita bisa langsung mengetahui up date skor pertandingan minute by minute. Belum lagi berita sosial media. Belum lagi acara sepak bola di televisi yang sekarang menjamur, tayang tiap hari, bahkan mulai jam 05.00 pagi. Dulu sih adanya cuma Planet Football yang tayangnya tiap Sabtu siang.

Mereka itulah yang membuat koran/tabloid olahraga baik yang harian maupun mingguan, menjadi kurang menarik. Palingan hanya mereka yang benar-benar "suka baca" yang masih loyal membaca koran. Atau mereka yang butuh "data lengkap" yang tentu saja tidak bisa didapatkan di berita pendek di media online ataupun acara di televisi.

Saya sengaja menuliskan suka baca itu dengan tanda kutip. Sebab, budaya membaca ini yang agaknya juga mempengaruhi 'hidup matinya' media olahraga versi cetak.

Dengan BOLA masih setia dengan gaya ulasan seperti dulu yang menyajikan data dan informasi detail--meski mungkin diksi dan kalimatnya kini lebih milenial--tetapi sekali lagi, hanya orang-orang yang benar-benar suka bola dan suka membaca yang mau melahapnya hingga tuntas.

Namun, bagi mereka yang sudah puas sekadar mengetahui skor/hasil pertandingan olahraga, membaca tulisan panjang itu dianggap 'pekerjaan berat' yang menyita waktu. Dan, tipikal pembaca seperti ini jumlahnya kini mendominasi. Tidak seperti era ketika saya masih SMA dulu di mana satu Tabolid BOLA bisa dibaca beramai-ramai bareng teman.

Pada akhirnya, bukannya ikut-ikutan dengan Pak Budiarto Shambazy dan Bung Hardimen Koto, tetapi memang saya bersedih atas kabar berpamitannya Tabloid BOLA. Saya merasa kehilangan salah satu "monumen jurnalisme olahraga" di tanah air". Dan, untuk semua yang telah diberikan BOLA selama ini, matur nuwun. Terima kasih BOLA ! Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun