Bulan Ramadan itu romantis. Ia seperti alat pemutar ulang waktu. Nyatanya, setiap Ramadan tiba, seperti membawa kita pada ingatan kejadian-kejadian di masa lalu. Bahkan, sampean (Anda) mungkin bisa senyum-senyum sendiri bila mengenang kembali tentang kelucuan saat menjalankan puasa kala masih lugu.
Salah satu kelucuan yang paling saya ingat di bulan Ramadan adalah ketika menjalankan Tarawih di awal-awal kuliah. Bukan tentang jumlah rakaat sholat Tarawih, apakah 20 atau 8 rakaat yang semoga saja tidak ada lagi yang memperdebatkannya. Tetapi justru tentang 'trik lucu' warisan dari teman saya agar ikut tarawih 20 rakaat tapi bisa cepat pulang.Â
Ceritanya, sebagai anak kampung yang tumbuh di lingkungan keluarga dan masyarakat yang kental ke-NU (Nadhlatul Ulama) an nya, sejak kecil saya hanya punya satu pemahaman: Â Tarawih ya 20 rakaat plus sholat witir 3 rakaat. Sejak kecil, setiap Ramadan tiba, setiap tarawih di musholla (masjid kecil), selalu cara itu yang dipakai.
Hingga ketika kuliah di Malang di awal tahun 2000, saya mulai mengenal pemahaman lainnya cara Muhammadiyah. Saya mulai mengenal tarawih delapan rakaat plus witir tiga rakaat yang disela-selanya terdapat kajian singkat. Kala itu, ketika hendak sholat Tarawih, saya jadi punya dua pilihan. Mau pilih yang 23 rakaat (tarawih plus witir) di masjid yang tidak jauh dari kos. Atau, memilih 11 rakaat di masjid kampus yang lokasinya lebih jauh.
Dua-duanya sempat saya lakoni. Saya pernah merasakan tarawih yang 20 rakaat di dekat kos. Dan, rasanya sama saja seperti di rumah. Tarawihnya pake "kilat pos". Tau-tau selesai. Saya juga bisa merasakan pengalaman baru, Tarawih 8 rakaat di masjid kampus. Meski rada lama karena tidak pake "kilat pos", tetapi karena dilakoni bareng teman-teman kos, yang ada rasanya nyaman saja. Â Â
Hingga setelah Ramadan berjalan beberapa hari, ada kakak kos-an yang mengenalkan 'trik' baru dalam menjalankan Tarawih. Kata dia "ayo Tarawih di masjid yang dekat kos saja, tapi nanti kalau sudah 8 rakaat kita selesai, nggak lanjut  sampai 20 rakaat. Biar cepet pulang". Karena yang ngomong senior, beberapa teman kos pun manut (menurut) saja.
 Awalnya saya tidak tergoda dengan ajakan itu. Dalam pemahaman saya kala itu, pilihannya ya cuma dua, mau tarawih di masjid yang delapan rakaat atau 20 rakaat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, harus dijalani sampai selesai. Jadi nggak boleh pilih enaknya dengan hanya ngambil 8 rakaat tapi di masjid yang tarawihnya 20 rakaat.
Namun, karena godaan pengen cepat balik ke kost-an untuk mengerjakan tugas kuliah, atau karena alasan ngantuk ataupun sekadar ingin segera bersantai di kost-an setelah kuliah di siang hari, saya pun lalu tergoda untuk ikut-ikutan mencoba trik itu.
Dan setelah mencoba 'trik' kakak kos itu, saya mahal senyum-senyum sendiri. Rasanya baru memulai Tarawih, tapi kami sudah memberesi sajadah dan beranjak pulang meski Tarawih di masjid itu masih terus berlanjut hingga 20 rakaat. Lha wong Tarawihnya hanya delapan rakaat dengan "paket kilat" tentunya jauh lebih cepat dibanding delapan rakaat yang "paket biasa". Dalam perjalanan balik ke kost, teman-teman pun seolah puas bisa menjalankan trik itu. "Penak ngene yo cepat mari" (enak cara begini ya cepat selesai)," ujar mereka..
Seiring dengan bertambahnya pemahaman dan juga motivasi untuk belajar menikmati Tarawih yang hanya ada di bulan Ramadan, 'trik'Â warisan dari kakak kos itupun sudah dilupakan. Cukuplah menjadi kenangan lucu hehe.
Kepada anak saya yang baru kelas 1 SD, saya sudah mengenalkan dua 'versi' Tarawih tersebut. Dan dari ucapannya seusai ikut Tarawih di kampung saat menjenguk ibu akhir pekan kemarin, saya jadi tahu pilihannya. "Ayah, kok tarawihnya kayak burung mematuk makanan sih," ujarnya. Â Â