Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Equilibrium

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Dien ar-Rahmah", Jalan Sunyi Takfiri Penuh Dollar

14 Juni 2018   11:20 Diperbarui: 14 Juni 2018   11:29 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Qur'an, Hadits, Ijma', Qiyas, Maslahat, Qaul Sahabiy, Urf, istihsaan adalah Dalil. Jadi sekedar membatasi Dalil hanya Qur'an & Hadits saja maka sama saja merusak kaidah Otoritas memahami Dalil. Merusak otoritas pemahaman sama saja mengakali & mengangkangi Dalil itu sendiri.

Sebab, sahabat & murid-muridnya adalah manusia yg paling dekat dengan Sumber Dalil, sementara Urf dalam tradisi bahasa & adat Arab merupakan lingkungan yang ada saat sumber Dalil itu diturunkan. Oleh sebab itu, menjadi salah satu pilar dalam Adab Ahlul Sunnah salah satunya mencintai Urf & bahasa bangsa Arab.

Namun, saat al Mukharom Gus yang paling Humanis memakai kacamata Schleiermacher, Dilthey, Gadamer guna mendekonstruksi Dalil dengan pisau Sosio-Historis-nya & mengajukan Urf Nusantara sebagai Tafsiran paling "Rahmah" & dianggap sebagai Islam yang paling Sejati dibandingkan Islamnya Arab yg menurut asumsinya tidak sejati & penuh konflik kepentingan politis.

Sayangnya dengan pisau yang sama, kesimpulan itu jelas "self defeating" akan tertolak. Sebab secara Sosio-Historis, Islam tak muncul di Jawa dengan budaya lingkungan Sansekerta-nya, atau pun di Sumatera dengan bahasa Batak & Padang-nya.

Dengan falsifikasi ala batu uji Popper, kesimpulan anti Arab-nya  al-Mukharom itu pun ternyata tak juga "bebas nilai" & tak sepi dari "politik kepentingan", yakni kepentingan pemaksaan metodologi & kampanye padat dollar dari nilai "relativisme-nihilisme".

Lebih absurd lagi, ternyata nilai kepentingan yg diusung itu lebih ganas, tidak berlaku "Rahmah" nan humanis dibanding penganut faham Takfiri dalam melakukan Takfir kepada faham lainnya yg menyelisihinya. Naif-nya, faham "Takfiri Rahmah" itu dianggap paling moderat & paling toleran.

Dan kata "Rahmah" pun saat ini terpaksa ikut  di reinterpertasi sebagai bentuk "larangan untuk melarang" ala Logical Fallacy  Dualisme Sophis. Sehingga dengannya kita bisa memaklumi & berempati dgn tulisan rasis "Der Judenstaat" nya Theodore Herzl maupun tindakan "Tnu'at Hameri HaIvri" dgn milisi-milisi-nya (Haganah, Irgun, Lehi) cikal bakal IDF itu mengusir & menjarah properti separuh lebih penduduk Palestina di masa pendudukan Inggris sebagai tindakan bela diri & bukan suatu hal yg SARA.

Sementara itu, dgn "reinterpertasi" tersebut maka kita wajib mengutuk segala bentuk perlawanan, reaksi Palestina sebagai sesuatu hal yang SARA, tidak beradab penuh kebencian, tidak realistis meski hal itu dilakukan oleh kalangan Palestina Sekuler, Sosialis & Nasrani.

Semoga dengan reinterpertasi kelembutan diabolik "Rahmah" ini, Israel esok hari akan memeluk lembut Palestina, bukan menganggapnya sebagai ancaman & warga Palestina pun legowo untuk berbagi menjadi penduduk Negeri Israel-Palestina dgn Presidennya gantian (itu kalau Israel mau, kalau tidak toh Palestina dari dulu sudah terbiasa dipaksa & ditekan untuk legowo atas nama "Rahmah"), Demokratis, Sekuler, Humanis dan Rahmatan Lil 'alamin. Sehingga akhirnya sang pencetus ide "jalan sunyi" itu pun menjadi tokoh kemanusiaan dunia, meraih Nobel Perdamaian dan dikenang sepanjang masa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun