[caption id="attachment_208407" align="alignleft" width="300" caption="sumber: wikanpribadi.com"][/caption] Negri heboh tercinta minggu ini kembali ramai dengan persoalan rendahnya kehadiran dalam rapat di DPR. Berbagai komentar, kecaman dan saran dilontarkan kepada anggota dewan yang diketahui memiliki ketidakhadiran yang banyak. Sebaliknya anggota dewan yang terhormat pun memiliki alasan yang menurut mereka sah untuk membenarkan ketidakhadiran mereka. Entah kalau yang menyangkut mengisi daftar hadir yang dilakukan oleh ajudannya. Untuk menghemat tenaga dan pikiran, sebaiknya kita tidak terjebak dengan polemik tentang pembenaran ketidakhadiran tapi lebih pada peraturan yang harus ditegakkan tentang kehadiran sehingga dapat mencegah moral hazard pada absensi. Hal ini mengingatkan kembali pengalaman di waktu kuliah dulu. Fakultas menetapkan persyaratan tegas menyangkut kehadiran yaitu minimum 75%, tanpa itu jangan harap bisa ikut ujian. Alasan sakit pun sudah diakomodir dalam 25% batas toleransi yang diberikan. Selain itu, alasan paling mendasar dan patut didukung adalah bagaimana mungkin mahasiswa bisa memahami pelajaran dengan baik tanpa melalui proses yang benar. Memang kalau sekedar dinilai dari hasil ujian mungkin saja mahasiswa yang cerdas bisa lulus tanpa harus selalu hadir di kelas. Tapi itu bukan esensinya. Yang menjadi esensi permasalahan adalah belajar adalah proses. Suatu fisosofi pendidikan yang tak pernah lekang oleh waktu. Saya rasa hal yang sama juga berlaku untuk anggota dewan, karena dalam membuat suatu produk hukum (dalam bahasa Inggris kan mereka disebut law maker), bagaimana mungkin mereka yang jarang hadir bisa mengikuti proses pembuatan produk hukum yang baik, dari awal sampai akhir sehingga semua hal yang diperdebatkan dapat dijadikan pertimbangan sebelum menentukan keputusan akhir. Lagi-lagi ini adalah soal proses, bukan sekedar mengangguk setuju dan memberikan komentar yang mengambang tanpa menyentuh esensi masalah. Dari hal diatas, mungkin bisa diusulkan agar ada kehadiran minimal katakan 75% seperti halnya syarat dalam mengikuti ujian. Dengan demikian pimpinan tidak perlu lagi sibuk mempertimbangkan alasan-alasan personal yang sulit sekali dibuktikan kebenarannya namun dituntut untuk diterima sebagai alasan yang sah. Tentu saja, konsekuensinya juga harus ditentukan seperti halnya mahasiswa yang tidak boleh ikut ujian karena kehadirannya kurang. Konon, saat kepepet ada mahasiswa yang berusaha menghilangkan daftar hadir sehingga sekretariat fakultas tidak punya data lagi. Tapi hal itu sia-sia karena pihak sekretariat sudah mengantisipasi dengan selalu memasukan data kehadiran dalam file di komputer fakultas. Contoh lainnya, di banyak perusahaan diberlakukan pemotongan uang makan harian bila karyawan datang terlambat, meski terkesan kurang manusiawi namun cara ini efektif meningkatkan kehadiran tepat waktu dan mencegah moral hazard (aji mumpung) yang sangat mungkin timbul dari adanya toleransi yang berlebihan. Memang semua kembali ke komitmen yang bersangkutan tetapi secara manajemen hal itu dapat diatasi asalkan ada kemauan. Itulah sekelumit pandangan tentang absensi, masalah sepele namun bisa menghebohkan negeri ini.