Mohon tunggu...
Gyandra
Gyandra Mohon Tunggu... Penulis Muda | Pulau Longos. | Puisi | Artikel Opini | Reflektif-Kritis.

Penulis muda asal Pulau Longos, Nusa Tenggara Timur. Lulusan S1 Manajemen Pendidikan Islam. Aktif menulis Puisi, Artikel Opini, Reflektif-Kritis. "Nama Tanpa Karya Akan Mati"

Selanjutnya

Tutup

Nature

Surga yang Terluka: Suara Pemuda Timur untuk Raja Ampat

18 Juni 2025   08:09 Diperbarui: 18 Juni 2025   23:08 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alam Raja Ampat Terancam (Ilustrasi digital: AI (generated by ChatGPT, 2025)

"Manusia bukanlah pemilik alam, tetapi bagian dari alam itu sendiri. Saat kita mengingkari ikatan itu, kita sedang menggali lubang untuk masa depan kita sendiri."

— Vandana Shiva

Dari Ujung Timur, Kami Bertanya

Sebagai seorang pemuda yang berasal dari timur Indonesia tempat di mana alam menjadi bagian dari kehidupan, di mana suara laut dan kicau burung menjadi lagu harian sebelum suara mesin yang diklaim sebagai simbol kemajuan datang merusak ketenangan, keindahan, dan udara segar yang jauh lebih bernilai bagi keberlangsungan hidup manusia, saya merasa ada yang keliru dalam cara manusia memperlakukan Bumi.

Sebagian dari kita telah melupakan bahwa sebagai makhluk berakal, manusia seharusnya menjaga keharmonisan antara dirinya dan alam. Namun, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya: manusia begitu rakus dan serakah, ingin mengeksploitasi dan merusak alam demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa peduli pada dampak jangka panjangnya. Ironisnya, mereka sadar bahwa mereka pun membutuhkan alam yang sehat. Maka saya pun bertanya: apa gunanya pendidikan tinggi dan kekuasaan, jika yang lahir darinya adalah egoisme, keserakahan, dan ambisi untuk menguasai alam?

Kerusakan alam tak lagi sekadar bencana ekologis, melainkan juga bencana moral. Karena saya percaya, kerusakan yang terjadi hari ini tidak dilakukan oleh orang bodoh, melainkan oleh mereka yang terdidik, berkuasa, dan bermodal, namun kehilangan nurani. Ini adalah wujud dari pendidikan yang hanya mencerdaskan kepala, tetapi membiarkan hati gelap dan nurani tertidur.

Surga yang Terancam

Akhir-akhir ini, kita menyaksikan luka ekologis yang kini menganga di Raja Ampat. Berita tentang pembangunan resort mewah di kawasan konservasi seperti Pulau Wayag dan Pulau Gag tidak hanya menyentuh nurani, tetapi juga menggugah banyak pertanyaan:

Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya segala aktivitas yang bersifat destruktif dilarang di kawasan konservasi? 

Untuk siapa sebenarnya pembangunan ini ditujukan?

Apakah yang disebut "kemajuan" harus selalu dibayar dengan penggusuran kehidupan masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun hidup berdampingan secara harmonis dengan alam?

Jika ini terus berlanjut dan dilegalkan, maka terbukti lah ucapan Bung Karno:

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri."

Kita kini menghadapi kenyataan pahit: menjadi bangsa yang kaya sumber daya alam, namun miskin keadilan; bangsa yang besar, tapi takut membela kebenaran; bangsa yang terpelajar, namun diam saat ketidakadilan terjadi.

Tan Malaka pun pernah berkata bahwa:

"Tidak ada tuan rumah yang mau berunding dengan maling yang hendak merampok isi rumahnya." 

Namun hari ini, kita justru menyaksikan banyak elite yang nyaman duduk satu meja dengan "maling-maling berkostum resmi" yang menyusun rencana untuk mengeruk kekayaan alam kita. Mereka berhasil masuk, sementara rakyat yang menjaga alam sejak leluhur mereka malah tersingkir dan dilupakan.

Di sisi lain, kekuasaan yang seharusnya melindungi justru membisu. Mereka duduk di meja makan yang mewah, menikmati segala fasilitas, sementara masyarakat di akar rumput bertanya-tanya: 

"Besok saya makan apa? Saya harus ke mana?" 

Inilah wajah ketidakadilan dan keserakahan manusia yang lebih kejam dari kejahatan itu sendiri.

Raja Ampat, Mahakarya yang Dilupakan

Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau di ujung timur Indonesia. Ia adalah mahakarya alam yang memukau mata dunia, surga nyata yang ada di bumi Indonesia tempat di mana laut, langit, dan kehidupan menyatu dalam harmoni yang jarang ditemukan di belahan bumi manapun.

Keindahan Raja Ampat bukan hanya mempesona secara visual, tapi juga menyimpan kekayaan ekologis yang luar biasa. Menurut data dari Conservation International, kawasan ini memiliki lebih dari 75 persen spesies karang dunia dan menjadi habitat bagi lebih dari 1.300 spesies ikan. Tak heran jika banyak ilmuwan menyebutnya sebagai pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di planet ini.

Sayangnya, di tengah pujian itu, ancaman perlahan-lahan datang. Dalam beberapa bulan terakhir, rencana pembangunan resort mewah oleh investor swasta dari luar Papua mulai mengguncang ketenangan kawasan ini. Penebangan hutan mangrove, pengerukan tanah untuk dermaga, hingga lalu lintas kapal besar mulai meninggalkan jejak kerusakan.

Lebih menyedihkan lagi, proses pembangunan ini disebut dilakukan tanpa memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara menyeluruh dan tanpa melibatkan masyarakat secara terbuka serta tanpa melalui musyawarah yang transparan dengan masyarakat adat setempat.

Laporan investigatif Mongabay Indonesia (2025) bahkan mengungkap bahwa sebagian proyek pembangunan melanggar batas zonasi konservasi, dan indikasi kuat menyebutkan minimnya partisipasi sah dari masyarakat lokal.

Ini bukan sekadar soal pembangunan atau ketimpangan, ini adalah bentuk pengabaian terhadap hak hidup, budaya, dan keseimbangan ekosistem yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat dengan penuh kearifan.

Suara Hukum yang Diredam? Suara Kami Terus Melawan!

Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL yang sah dan transparan.

Namun, warga suku Maya pemilik ulayat pulau-pulau tersebut mengaku tidak pernah dilibatkan secara utuh dalam penyusunan AMDAL. Proses konsultasi hanya formalitas, tanpa ruang dialog bermakna. Ini jelas melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang menjadi standar global untuk pembangunan di wilayah adat.

Sebagai anak kampung dari Longos, NTT, saya tahu bagaimana rasanya ketika kampung dijadikan latar belakang brosur wisata, namun kesejahteraan penduduknya tidak diperhatikan tetap tak punya akses internet dan pendidikan layak, serta lingkungan dan makhluk hidup lainnya yang terancam tak dihiraukan.

Masyarakat sering disebut "lokal", tetapi tidak pernah benar-benar dilibatkan. Apa yang terjadi di Raja Ampat adalah cermin dari semua kekayaan alam di negri ini yang dipoles untuk orang asing, bukan untuk masyarakat yang sudah menjaganya sejak lama.

Yang paling menyedihkan, pembangunan yang katanya "berbasis ekowisata" justru membawa alat berat dan menutup akses masyarakat ke pantai. Alam dijual, sementara masyarakat lokal hanya jadi penjaga parkir atau petugas kebersihan.

Saya tidak anti-investasi. Tapi saya percaya ada cara yang lebih adil dan bermartabat. Pembangunan seharusnya bertumpu pada: Partisipasi penuh masyarakat adat dalam setiap tahap perencanaan ekowisata berbasis komunitas, bukan korporasi besar. Penegakan hukum lingkungan yang tegas dan tanpa pandang bulu terhadap investor.

Kami Masih Percaya pada Harapan

Hari ini, Raja Ampat disakiti oleh janji-janji pembangunan yang tidak berpijak pada realitas dan nilai-nilai lokal.

Tapi dari timur Indonesia, suara kami tidak akan diam. Kami akan terus bicara, menulis, dan mengingatkan: bahwa kemajuan yang membunuh alam dan mengusir rakyatnya bukanlah kemajuan itu adalah penjajahan kesadaran, yang membuat kita lupa pada amanat konstitusi.

Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa

"setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat."

Tapi, oh... aku hampir lupa, ini adalah Indonesia negeri di mana hukum seringkali bisa dipermainkan untuk kepentingan segelintir oknum.

Saya dan anak-anak muda Indonesia lainnya tidak akan diam. Kami akan menjadi arus perlawanan apabila Raja Ampat dan masyarakat adat dirugikan atas nama pembangunan. Kami melawan dengan tulisan. Kami melawan dengan aksi nyata. Kami berdiri untuk membela alam dan menjaga kehidupan bagi generasi kini dan nanti. 

Kami tetap bersuara, karena diam berarti ikut bersalah. Ingat! Jangan sampai anak cucu kita hanya mengenal Raja Ampat dari cerita bukan dari napas lautnya yang pernah hidup.

Ditulis oleh: Gyandra. Putra Bajo Longos, Manggarai Barat, NTT.  "Suara dari Timur yang tidak akan diam."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun