Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Becak Diberi Motor, Que Sera Sera

30 April 2014   22:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu saya kecil, ada lagu anak yang sangat populer berjudul “Que Sera Sera”. Kala itu saya baru berusia 9 tahun, tapi sanggup menyanyikan lagu berbahasa Inggris ini dengan lengkap sekalipun saya tak memahami apa yang terkandung dalam lirik lagu tersebut. Jadi saya menyanyikan lagu ini seperti burung beo belaka. Belakangan setelah berangkat dewasa, baru saya mengerti bahwa “que sera sera” adalah ungkapan bahasa Spanyol yang bermakna “apa yang terjadi biarkan terjadi” (what will be, will be). Jadi ungkapan ini menyiratkan sikap pasrah karena sudah suratan takdir.

Ungkapan “que sera sera” ini secara satiris saya pakai untuk mengetengahkan persoalan becak yang kini diberi motor. Motor yang dipakai pada awalnya adalah mesin parut kelapa yang ber-cc kecil. Lama-kelamaan mesin sepeda motor yang dipereteli dirakit (mounted) pada bodi becak ini. Dia berbeda dengan “bentor” (akronim dari ‘becak bermotor’) yang sudah lebih dahulu eksis di kawasan Medan dan Siantar. Bentor ini berpenampilan sepeda motor besar dengan zijspan (tempat duduk pembonceng di samping) dan konon merupakan modifikasi sepeda motor BSA zaman perang dunia kedua. Jadi dari segi keamanan bentor ini lebih terjamin.

Kita lihat sekarang beca yang secara fisik tetap sama, hanya ditempeli mesin motor, sehingga abang becak tak perlu mengayuh becaknya. Karena fisiknya tetap sama, pemakai jalan lainnya sering terkejut bila berpapasan dengan becak ini, karena tak menyangka dia melaju dengan begitu cepatnya. Karena sudah diberi motor, abang becak ini merasa sangat pede menjelajah di jalan-jalan besar sekalipun. Dia tak merasa lagi sebagai pengayuh becak yang daerah operasinya dibatasi hanya di kawasan jalan-jalan kecil. Pokoknya, dia merasa selevel (setara) dengan pengendara bermotor lainnya termasuk mobil.

Di sinilah persoalan yang ingin saya pertanyakan kepada pihak kepolisian. Untuk membawa kendaraan bermotor, sesuai dengan Undang-undang Lalulintas, kendaraan itu wajib mempunyai STNK dan si pengendaranya wajib memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi yang dahulu kita sebut dengan ‘rebewes’) dan mengenakan helm. Bagaimana ini, polisi yang tiap hari berjaga di perempatan jalan, kok membiarkan becak yang diberi motor ini berkeliaran bebas sudah mirip dengan “raja jalanan”. Baru-baru ini, saya menyaksikan tabrakan antara sepeda motor bebek dengan becak yang diberi motor ini di perempatan jalan besar. Lampu lalulintas sudah menyala merah, namun becak bermotor ini terus nyelonong sambil mengebut memasuki jalur kendaraan yang berlampu hijau. Akibatnya, terjadi tabrakan keras dengan sepeda motor yang pengendaranya mungkin tak menyangka becak itu melaju dengan kecepatan tinggi.

Penumpang becak dua orang wanita terlempar dari tempat duduknya, si abang becak juga terjungkal, tetapi yang paling parah adalah si pengendara motor yang terjatuh tak bisa bangun lagi karena mungkin mengalami patah tulang kaki. Menurut Undang-undang Lalulintas Nomor 22 tahun 2009, becak memang tidak dikategorikan sebagai kendaraan bermotor. Jadi kepolisian seharusnya bertindak tegas “menahan/menyita” becak bermotor ini bila dijumpai di jalanan. Spesifikasi rancang bangun becak ini memang tidak sesuai untuk dijadikan kendaraan bermotor, sehingga sangat membahayakan keselamatan jiwa baik bagi pengendaranya maupun pemakai jalan lainnya.

Saya menyindir dengan “que sera sera” karena seolah-olah pihak polisi lalulintas berkata “biarkan saja pelanggaran itu terjadi”. Coba kita bayangkan saja, berapa banyak pelanggaran yang sudah dilakukan pengendara becak bermotor ini, STNK tak ada, SIM tak ada, helm tak pakai, penumpang juga tak ber-helm, berseliweran di jalan besar yang seharusnya terlarang bagi becak, dan tak memakai lampu pada malam hari.

Mungkin fenomena becak bermotor ini dipandang sepele saja oleh kepolisian lalulintas, karena tak menghasilkan “prit jigo” kalau ditilang. Jadi buat apa repot-repot menertibkan becak bermotor, yang jumlahnya relatif masih sedikit. Memang kita masih tetap memelihara mentalitas membiarkan pelanggaran sewaktu masih dini, dan baru kebakaran jenggot kalau sudah terjadi musibah yang besar. Itulah yang saya sebut dengan mentalitas “que sera sera” itu.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun