Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu...

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Protes Terhadap Penyerapan Kata Asing yang Awut-awutan

3 Juni 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 2457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13702719461546589075

[caption id="attachment_265389" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]

Hari ini untuk kesekian kalinya nurani bahasa saya terusik, manakala membaca kata ’khaos’ tertulis pada kolom ‘Tajuk Rencana’ harian Kompas yang berjudul ‘Setelah Tornado Menyerang Lagi’. Kata ‘khaos’ ini dipakai dalam konteks ribuan kendaraan yang dalam saat yang bersamaan ‘numplek’ ke arah yang sama untuk menghindari tornado yang datang menyeruak. ‘Namun, memang bisa dibayangkan kalau ribuan orang berpikiran serupa, pastilah semua akan tumpah ke jalan dan khaoslah situasi.’, inilah kutipan kalimatnya. Saya mafhum, penulis editorial ini meminjam dari kata Inggris ‘chaos’ yang maknanya ‘kekacau-balauan’. Tetapi saya sangat tidak setuju, kalau ‘chaos’ ini diserap ke dalam bahasa kita menjadi ‘khaos’.

Dewasa ini, cukup banyak kata asing yang di-indonesia-kan dengan cara yang menurut saya ‘awut-awutan’. Kata ‘account’ diserap menjadi ‘akun’, ‘cyber’ menjadi ‘siber’, ‘gamer’ menjadi ‘gimer’, ‘feature’ menjadi ‘fitur’, ‘single’ menjadi ‘singel’, ‘partner’ menjadi ‘patner’, ‘discount’ menjadi ‘diskon’, ‘counter’ menjadi ‘konter’. Pokoknya, kata-kata ini diserap ‘semau gue’ dan ‘main terabas’ saja.

Dalam hal penyerapan dari kata asing, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia dahulu mempunyai ‘sikap’ yang sama, yaitu pengejaannya diadaptasi sesuai dengan lafalnya (pronunciation). Bahasa Indonesia mengikuti lafal bahasa Belanda, sedangkan bahasa Malaysia mengikuti lafal bahasa Inggris. Oleh karenanya, dalam bahasa Malaysia sampai sekarang bisa ditemui kosakata (yang sesuai dengan lafal bahasa Inggrisnya) seperti: blaus (dari ‘blouse’), skru (dari ‘screw’), kempen (dari ‘campaign’), geran (dari ‘grant’), siling (dari ‘ceiling’), resipi (dari ‘recipe’), kek (dari ‘cake’), gris (dari ‘grease). Dalam bahasa Indonesia kata serapan yang diadaptasi dari lafal bahasa Belanda sebanyak 4.000 kata, misalnya ‘blus’ (dari ‘bloes’), sekrup (dari ‘schroef’), kampanye (dari ‘campagne’), plafon (dari ‘plafond’), resep (dari ‘recept), sekop (dari ‘schop’).

Namun menurut Anton Moeliono, semenjak tahun 1972, pedoman yang dipakai untuk kata serapan tidak lagi memperhatikan lafalnya, tetapi dari bentuk tulisannya. Menurut saya, inilah awal dari keamburadulan kata-kata baru yang diserap. Orang seakan diberi kebebasan tanpa koridor untuk membuat kata serapan seturut seleranya. Contohnya, kata ‘akun’ yang diserap dari ‘account’. Bandingkan dengan istilah Malaysia yang menuliskannya dengan ‘akaun’ (setidak-tidaknya pelafalannya boleh dikatakan sama). Juga kata ‘counter’ dan ‘discount’ yang seenak udelnya dijadikan kata serapan ‘konter’ dan ‘diskon’ dalam bahasa Indonesia. Kita bandingkan lagi dengan bahasa Malaysia yang menuliskannya dengan ‘kaunter’ dan ‘diskaun’.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa secara estetika, ‘kaunter’ dan ’diskaun’ lebih bagus daripada ‘konter’ dan ‘diskon’, karena ini masalah selera yang pada masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi yang saya sesalkan adalah kebijakan pusat bahasa yang mengganti panduan pemadanan kata serapan dari pelafalan menjadi penulisan. Kata-kata asing ini menjadi bermakna justru karena pelafalannya (pada saat masuk ke dalam telinga kita). Jadi sangat ‘kampungan’ kalau kata Inggris ‘feature’ (dengan pelafalan ‘ficier’) lantas kita jadikan ‘fitur’. Meskipun relatif sedikit, di zaman dahulu, kita sudah membuat kata serapan dari bahasa Inggris dengan elegan sesuai dengan pelafalannya, seperti misalnya istilah ’kiper’ (dari kata Inggris ’keeper’), skuter (dari ’scooter’).

Nampaknya tidak semua istilah asing bisa kita jadikan kata serapan. Lantas apa alternatif kita kalau sesuatu kata terasa kurang ’sreg’ untuk dijadikan kata serapan? Menurut saya, lebih baik dan lebih elok kalau kata bersangkutan kita tulis dengan ejaan bahasa aslinya. Jadi kita tetap tulis dengan ’feature’ ketimbang ’fitur’ yang membuat membuat sakit mata. Tuliskan: seorang penyanyi akan meluncurkan album single-nya, jangan ditulis dengan ’album singel-nya’. Atau apabila kita sanggup untuk mencarikan padanan dalam bahasa kita, tak ada jeleknya untuk diterapkannya. Misalnya, kata ’bully’ yang dewasa ini cukup tenar, menurut Anton Moeliono dapat dipadani dengan kata ’merisak’. Janganlah kita menuliskannya menjadi ’membuli’. Alasannya? It looks stupid and ugly.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun