Menjelang Pilpres 2019 saya mengalami kejenuhan membaca berita-berita mutakhir. #2019GantiPresiden. #2019Jokowi2Periode. #2019CakIminCawapres. Lain-lainnya soal partai Tuhan-setan, tokoh dipolisikan, tantangan bertelanjang dada, dan seterusnya.
"Sebaiknya ganti tontonanmu, Ji," saran Demun. "Kamu tidak cocok menyaksikan perkembangan sosial-politik terkini. Politik memang berat. Biar aku saja."
"Eh, Dilan juga berpolitik, ya?"
"Lho iya! Dilan itu bagian dari upaya perpolitikan yang tidak kasat. Makanya tadi aku bilang, kamu tidak cocok."
Ya, mungkin tepat apa yang dikatakan Demun. Saya pikir, Demun memang fasih mengamati dan mengomentari perkembangan sosial-politik karena dia pernah kuliah di bidang sos-pol.
Dulu Demun-lah yang mengenalkan saya pada berita-berita sos-pol, yang paling mustahil bisa muncul di media massa umum. Salah satunya, apa lagi kalau bukan majalah Independent.
Saya sering bengong, kok bisa begitu hal-hal di balik berita umum. Mungkin karena saya berkuliah di bidang teknik, sibuk dengan tugas-tugas yang penuh perhitungan. Lebih bengong lagi ketika beberapa bulan kemudian Demun mengabarkan akan menikah. Sudah 'isi' duluan, kata kawan-kawan kami. Risiko berpolitik kebablasan dalam kamar kos-kosan, kata kawan kami lainnya.
Kalau sudah jodoh, apa boleh buat, pikir saya dulu. Ya, seperti juga politik pasca-reformasi, siapa capres-cawapres, siapa presiden-wakil presiden. Jodoh-jodohan saja.
"Mau ngopi?"
"Nah, itu yang aku tunggu, Ji," jawabnya sembari memberi acungan jempol. "Istrimu di mana, kok dari tadi tidak kelihatan?"
"Biasa, urusan emak-emak kampung, Mun."
Saya pun bangkit lalu beranjak ke dalam. Saya biarkan saja Demun menikmati beranda ditemani aneka bunga dan tanaman lainnya.
"Eh, ada Mas Demun...." Saya dengar suara istri saya. Â "Tumben jam segini sudah datang. Lho, mana Bang Oji? Tamu kok dibiarkan sendiri begini, sih?"
"Halo, sudah beres urusan emak-emaknya nih? Lagi pengen ngobrol ama suamimu. Biasalah... Sambil ngopi. Oji lagi di dalam, bikin kopi."
"Saya tinggal dulu, Mas."
Tidak berapa lama istri saya pun sampai di dapur. Saya masih menunggu air mendidih. Tidak akan lama karena air dalam ceret cuma untuk dua cangkir.
"Tumben Mas Demun sudah muncul jam segini, Bang?" tanya istri saya dengan agak berbisik.
"Dia lagi menjaring massa, kayaknya. Dia, 'kan, mau jadi tim sukses? Hehehe... Ya, pilihan politiknya begitu."
"Bukan urusan lainnya?"
"Lho, ada apa?"
"Tadi, waktu acara emak-emak, ada seorang ibu yang ngasih kabar. Bulan depan Demun mau melamar anaknya Bu Zaenab. Itu, si Yuli, yang baru kuliah," sahut istri saya sambil membuat lengkungan di perutnya. "Sekarang Demun sedang dalam proses perceraian dengan istrinya. Tapi Abang diam saja, pura-pura nggak tahu."
Saya terkejut, tentunya. Saya sama sekali tidak menyangka. Padahal, dulu, Demun yang menasihati saya ketika saya hendak menikah, bahwa pernikahan itu berat. Oh, ternyata.
*******
 Panggung Renung -- Balikpapan, 16 April 2018