Saya duduk dengan berselonjor di bangku bambu beranda. Saya belum ingin masuk ke rumah. Sepatu masih saya kenakan. Matahari tengah kelaparan di atas atap seng rumah-rumah. Â
Pikiran saya sedang diaduk-aduk persoalan kantor yang semakin bangkrut serta minggu depan tutup pasca-keanjlokan harga batubara. Saya tergolong dalam daftar perampingan sumber daya manusia karena saya hanya seorang honorer.
Sebuah motor berhenti di pinggir jalan aspal yang berada pas di depan rumah saya. Seseorang turun sambil membawa sebuah map. Sedangkan seorang lagi memegang stang motor, dan hanya memasang kaki ke pinggir aspal.
Saya bergeming; malas bangkit untuk menyambut kedatangannya. Saya biarkan saja seseorang yang membawa map itu melangkah ke arah saya.
"Selamat siang," sapanya.
"Ya, selamat siang. Ada apa, ya?"
"Kami mau meminta sumbangan seikhlasnya untuk..." Dia pun membuka map sambil memperkenalkan diri, dan seterusnya.
"Ada surat pengantar dari ketua RT kami, nggak?" tanya saya. Saya selalu ingat pesan ketua RT kami berkaitan dengan permintaan sumbangaan dari siapa saja.
"Oh, nggak ada," jawabnya dengan langkah terhenti. "Ini hanya keikhlasan saja. Terserah berapa..."
"Waduh, saya nggak berani kalau tanpa sepengetahuan ketua RT."
"Kami mengharapkan keikhlasan saja. Terserah mau menyumbang berapa."