Pantai Tongaci sedang ramai pengunjung, khususnya anak-anak. Saya maklum saja karena daya tarik pantai ini adalah penangkaran penyu. Itu biasa-biasa saja bagi saya jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa saya sedang duduk menghadap Lia.
Saya pun bercerita bahwasannya saya pernah bermain ke pantai ini ketika masih bernama Kuala. Waktu itu masih berseragam putih-merah, tepatnya murid Kelas V SD. Dari Kampung Sri Pemandang saya naik sepeda jengki, lalu ke pantai di Jalan Laut ini. Saya dan kawan-kawan SD yang tinggal di sekitar sini senang bermain bola di pasir putihnya, lalu bermain di air asinnya.
"Pantai ini, 'kan, jauh dari rumahmu, Ji?" tanya Lia sambil menatap saya.
Saya terpesona. Binar bola mata, gerakan bibir, dan seterusnya ditampilkan Lia secara spontan. Aduhai sekali.
"Ya, memang jauh, sih," jawab saya dibarengi dengan menyandar ke sandaran kursi. "Tapi untuk suatu kesenangan bagi anak kecil, apalah arti jauh, 'kan?"
Saya sengaja sampai di situ tanpa melanjutkan dengan suasana saat ini, misalnya "Apalagi urusan perasaanku saat ini di sini, Lia".
"Boleh, ya?" tanya Lia yang kemudian menunduk untuk memainkan telpon pintarnya. "Bapakmu nggak marah? Kamu dulu pasti bandel, ya?"
"Sesama laki-laki, Lia. Jauh bukanlah halangan, melainkan tantangan yang harus ditaklukkan."
Sebenarnya dalam hati saya juga berkata, "Ah, apalagi dengan suasana begini, aku makin bandel, bahkan mulai berani untuk menaklukkan hatimu, Lia." Tapi saya masih juga belum berani. Yang terjadi malah saya kebelet hendak ke toilet.
Debur ombak di pasir pantai meningkahi debur di dada saya. Kalau ombak selalu berani membenturkan diri di pasir, saya malah masih khawatir membenturkan perasaan pada risiko yang tidak saya inginkan.
"Aku ke toliet dulu, Lia."