Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tempat Tinggal bagi Pendatang

18 Juni 2017   19:15 Diperbarui: 19 Juni 2017   18:25 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sedikit pemudik, ketika berada di kampung halaman, akan mengajak atau dimintai oleh anggota keluarga atau kawan untuk ikut merantau. Salah satu alasan utamanya adalah memperbaiki nasib.

Memperbaiki nasib atau mencoba peruntungan di daerah baru bukanlah sekadar kemampuan bekerja, mencari makan, dan nasib pun dapat diperbaiki. Tetapi juga yang menjadi kebutuhan pokok adalah tempat tinggal.

Tempat tinggal (papan), dalam pelajaran IPS Kelas III SD, merupakan kebutuhan pokok (primer), selain pangan (makanan), dan sandang (pakaian). Semoga bukan sekadar sebuah hafalan, tetapi juga penerapannya.

Perihal tempat tinggal, tetap menjadi bagian pokok yang harus dipertimbangkan oleh calon perantau. Kalau berkaitan dengan pemanggilan suatu pekerjaan setelah melalui perekrutan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, tentu saja, persoalan tempat tinggal bisa cepat diantisipasi. Misalnya, dicarikan atau diupayakan oleh perusahaan, baik melalui aset perusahaan maupun karyawan yang ditugaskan untuk mencari tempat tinggal.

Tetapi ini tidak berkaitan dengan perusahaan, melainkan individu bersama anggota keluarga atau kawannya. Untuk sementara waktu, bisa menumpang di rumah keluarga atau kawan yang mengajak atau yang diikuti. Ya, untuk sementara waktu.

Tidak selamanya merantau dengan menumpang tinggal di rumah saudara atau kawan. Selanjutnya mengontrak kamar indekosan, sebuah rumah sewa, atau membeli rumah dengan pembayaran secara cicilan. Hal ini dilakukan, anggap saja, karena telah memiliki kemampuan keuangan, dan keinginan untuk mengembangkan diri. Mudah saja, ‘kan, alur berpikirnya?


Memang mudah saja alur berpikir mengenai merantau dan tempat tinggal. Kenyataannya, salah satunya, yang terjadi di Jakarta, tepatnya kawasan Kalijodo dengan keberadaan bangunan liar dalam berita belum lama ini. Tentunya, “bangunan liar” yang difungsikan sebagai tempat tinggal. Dan tidak hanya di kawasan itu, tentunya, termasuk daerah pinggir sungai yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau.

Siapa pemilik bangunan liar itu? Selalu saja, mayoritas adalah pendatang, baik pendatang baru maupun pendatang lama.

Mengapa nekat mendirikan bangunan liar? Kembali lagi pada kebutuhan primer, yang tidak benar-benar dipikirkan secara berkelanjutan untuk waktu panjang oleh pendatang (perantau).

Bagaimana kalau semua bangunan liar digusur? “Hak azasi manusia” menjadi tameng paling mutakhir. Kemudian sebagian orang menyalahkan pemerintah daerah setempat. Lho?

Ya, “lho”. Berangkat ke perantauan saja tidak dimulai dari perizinan dari pemerintah daerah asal si perantau. Lalu, begitu tiba di tempat perantauan sampai sekian waktu hingga tinggal di bangunan liar pun sama sekali tanpa melalui proses perizinan dari pemerintah daerah di tempat rantau. Tetapi, begitu pemerintah setempat melakukan pembersihan atau menggusur "bangunan liar" terhadap wilayah itu, mengapa lantas menyalahkan pemerintah daerah setempat?

Mungkin tidak menyalahkan tetapi meminta solusi alias tempat tinggal baru. Lho, lagi? Mengapa kemudian malah begitu, ya? Datang tanpa sepengetahuan pemerintah daerah setempat karena diajak atau ikut saudara. Lha kok malah minta solusi pada pemerintah daerah setempat?

Maaf, bukan hendak menyalahkan siapa dan membenarkan siapa. Tetapi, cobalah berpikir runut, kembali pada awal mengenai alasan merantau ke suatu tempat.

Berikutnya, apakah memang pemerintah daerah di perantauan sana selalu menyediakan tempat tinggal bagi para pendatang. Tentunya tidak pernah ada, ‘kan? Berangkatnya saja karena diajak atau ikut saudara atau kawan, dan tinggal sementara di rumah si pengajak atau orang yang diikuti.

Apakah memang pemerintah daerah di perantauan memang pernah menyarankan bahkan membuat semacam peraturan daerah (perda) untuk menjadikan wilayahnya sebagai daerah idaman bagi pendatang, lalu akan disediakan tempat tinggal? Ah, mana ada, sih, yang begitu itu?

Oleh sebab itu, berpikirlah panjanglah sebelum merantau dengan keinginan memperbaiki nasib. Nasib sendiri, bukannya nasib pengelola (pemerintah) daerah di perantauan lho, ya?

Ini pun bukan berarti pemerintah daerah manapun menolak kehadiran para pendatang, melainkan, kembali lagi, para calon pendatanglah yang harus berpikir panjang dari awal hingga bagaimana kelanjutan hidup di perantauan. Janganlah terlalu gegabah menyalahkan kebijakan pemerintah daerah setempat, dan janganlah terlalu manja lantas menuntut pemerintah daerah setempat memikirkan nasib (tempat tinggal) bagi calon pendatang.

Yang menjengkelkan adalah persoalan tempat tinggal, bangunan liar, dan penggusuran seringkali dijadikan tunggangan kepentingan politik. Ah, politik lagi, politik lagi. Nasib, oh, nasib! Masak, sih, ujung-ujungnya justru memperbaiki nasib politikus? Aduhai.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun