Mohon tunggu...
Denis Ng
Denis Ng Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konstruktor, Mahasiswa Akupuntur dan Pengobatan Herbal

quo fata trahunt retrahuntque sequamur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kawin Harus Punya Rumah Dahulu? Tempat Tinggal untuk Masa Depan Populasi Bangsa

4 Mei 2024   12:18 Diperbarui: 4 Mei 2024   12:20 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Umumnya di Indonesia berkeluarga dimulai dari perkawinan, karena "kumpul kebo" tidak dibenarkan secara hukum dan norma masyarakat, dan pada umumnya masyarakat memiliki idealisme "nuclear family" dimana satu keluarga memiliki rumah sendiri yang ditinggali oleh keluarga inti.

Sehingga pada realitas saat ini dimana harga rumah semakin mahal, meningkat 5-10% per annum menurut data Rumah.com Indonesia Property Market Index, terdapat juga data statistik trend perkawinan di Indonesia yang terus menurun selama 10 tahun terakhir, dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2023. Berdasarkan data BPS, angka  pernikahan pada 2021 sebesar 1.742.049, kemudian pada 2022 turun menjadi 1.705.348, dan pada 2023 kembali turun  1.577.255.

Selama ini kita tahu bahwa negara-negara seperti Jepang dan Korea memiliki masalah populasi yang sangat pelik dimana angka perkawinan dan kelahiran sangat sedikit, dibawah replacement number, demikian juga negara-negara barat yang juga angka kelahiran dan perkawinannya juga turun sehingga mereka menerima banyak immigran untuk mempertahankan jumlah populasi negara mereka. Tetapi apakah Indonesia perlu khawatir akan menurunnya jumlah populasi akibat dari semakin menurunnya angka perkawinan? (karena di Indonesia, trend berkeluarga tanpa ikatan perkawinan tidak terlalu berkembang disini.), dan apakah Indonesia akan bernasib seperti Jepang yang penduduk mudanya lebih sedikit daripada yang lanjut usia, sehingga membebani generasi selanjutnya?

Kalau dilihat apa sebabnya penduduk muda Indonesia tidak kawin dari segi ekonomi sebagian karena upah yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer berupa rumah tinggal. Banyak masyarakat yang masih mengidealkan kepemilikan rumah sebagai sesuatu yang sangat penting, dimana rumah yang dimiliki sendiri dirasa lebih aman secara finansial daripada menyewa rumah.  

Saat ini harga rumah sudah sangat tinggi bila dibandingkan dengan upah, rumah seharga 800an juta di pinggiran kota membutuhkan 20% down payment (DP) sejumlah Rp160.000.000,- yang berarti seseorang yang bisa menabung 5 jutaan membutuhkan tiga tahun untuk mengumpulkan DP dan 20 tahun untuk melunasinya. Sementara harga tumah terus naik, mereka harus bisa mengejar agar setidaknya dapat mencapai jumlah DP, sehingga menyebabkan banyak anak muda yang tidak mau memulai keluarga karena banyaknya biaya yang diperlukan untuk membangun keluarga ideal, terutama dilihat dari proporsi upah yang sebagian besar untuk cicilan rumah meskipun pada teorinya (debt-income ratio) ideal besaran cicilan rumah adalah sebesar 30%.

Untuk mengatasi masalah ini setidaknya ada dua cara, yaitu dengan membangun banyak rumah sehingga harga rumah menjadi stabil, atau meninggalkan idealisme nuclear family dengan tinggal di rumah orang tua atau mertua, atau setidaknya menyewa tempat tinggal daripada membeli rumah.  

Perumahan di perkotaan di Indonesia sebaiknya mulai mengadopsi konsep mid-rise buildings, dimana bangunan dibangun setinggi 4-7 lantai dengan banyak unit seperti apartmen. Keunggulan mid-rise building ini adalah meninggikan densitas penduduk, i.e. banyak orang yang tinggal di luas tanah yang sedikit, tanpa perlu mengorbankan ruang gerak. Diharapkan dengan banyaknya stok tempat tinggal di kota menyebabkan kestabilan harga tempat tinggal.

Keunggulan mid-rise building dibandingkan dengan high-rise building seperti tower apartemen di Indonesia pada umumnya adalah soal biaya perawatan, tinggal di apartmen di gedung tinggi memerlukan biaya perawatan yang tinggi sehingga iuran bulanan juga tinggi, sedangkan bangunan yang tidak terlalu tinggi perawatannya jauh lebih murah sehingga lebih ideal untuk penduduk berpenghasilan biasa saja.

Bagi masyarakat zaman dulu, keluarga besar tinggal di satu rumah atau area yang sama, sehingga tinggal bersama orang tua atau mertua sebenarnya bukan ide yang asing, selain menghemat biaya tempat tinggal, hidup bersama-sama sebetulnya lebih baik bagi keluarga, terutama untuk pertubmbuhan dan perkembangan anak, sehingga opsi untuk tinggal dengan keluarga besar harus menjadi pilihan yang lumrah.

Stereotipe mertua dan menantu yang tidak akur mungkin banyak terjadi, jika demikian sebailnya pilihan mengontrak atau menyewa tempat tinggal menjadi lebih menarik, tetapi di Indonesia kebanyakan indekos menargetkan orang-orang single, sementara keluarga hanya bisa menyewa rumah. Maka dengan adanya mid-rise buildings yang menyediakan ruangan yang cukup besar untuk keluarga kecil dan cukup terjangkau harganya, maka kesempatan masyarakat untuk membangun keluarga dapat ditingkatkan demi kestabilan demografi negara Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun