Mungkin tidak menyalahkan tetapi meminta solusi alias tempat tinggal baru. Lho, lagi? Mengapa kemudian malah begitu, ya? Datang tanpa sepengetahuan pemerintah daerah setempat karena diajak atau ikut saudara. Lha kok malah minta solusi pada pemerintah daerah setempat?
Maaf, bukan hendak menyalahkan siapa dan membenarkan siapa. Tetapi, cobalah berpikir runut, kembali pada awal mengenai alasan merantau ke suatu tempat.
Berikutnya, apakah memang pemerintah daerah di perantauan sana selalu menyediakan tempat tinggal bagi para pendatang. Tentunya tidak pernah ada, ‘kan? Berangkatnya saja karena diajak atau ikut saudara atau kawan, dan tinggal sementara di rumah si pengajak atau orang yang diikuti.
Apakah memang pemerintah daerah di perantauan memang pernah menyarankan bahkan membuat semacam peraturan daerah (perda) untuk menjadikan wilayahnya sebagai daerah idaman bagi pendatang, lalu akan disediakan tempat tinggal? Ah, mana ada, sih, yang begitu itu?
Oleh sebab itu, berpikirlah panjanglah sebelum merantau dengan keinginan memperbaiki nasib. Nasib sendiri, bukannya nasib pengelola (pemerintah) daerah di perantauan lho, ya?
Ini pun bukan berarti pemerintah daerah manapun menolak kehadiran para pendatang, melainkan, kembali lagi, para calon pendatanglah yang harus berpikir panjang dari awal hingga bagaimana kelanjutan hidup di perantauan. Janganlah terlalu gegabah menyalahkan kebijakan pemerintah daerah setempat, dan janganlah terlalu manja lantas menuntut pemerintah daerah setempat memikirkan nasib (tempat tinggal) bagi calon pendatang.
Yang menjengkelkan adalah persoalan tempat tinggal, bangunan liar, dan penggusuran seringkali dijadikan tunggangan kepentingan politik. Ah, politik lagi, politik lagi. Nasib, oh, nasib! Masak, sih, ujung-ujungnya justru memperbaiki nasib politikus? Aduhai.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017