Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Kejujuran dari Tukang Sayur

14 Juli 2020   12:15 Diperbarui: 29 Juli 2020   06:34 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Pak, jual pisang enggak?," tanya saya kepada tukang sayur yang berhenti di samping rumah saya. Di kompleks perumahan, dalam sehari ada 2-3 tukang sayur yang menjajakan sayur dengan menggunakan sepeda motor. Bagi kami, hadirnya penjual sayur mentah ini sangat membantu saat membutuhkan bahan-bahan untuk memasak.

"Oh, ada Pak," jawab si tukang sayur dengan ramah.

"Berapa harganya Pak?."

"Lima belas ribu rupiah," jawab si tukang sayur sambil menyerahkan satu sisir pisang.

Saya ambil dompet. Ambil uang satu lembar Rp10.000, dua lembar Rp2000 dan satu lembar Rp1000. Pas Rp15.000. Saya menyerahkan uang itu ke tukang sayur. Setelah saya masuk rumah, beberapa saat kemudian si tukang sayur bilang ,"Maaf Pak, ini uangnya kelebihan. Saya tidak mau kalau kelebihan," ujar si tukang sayur dalam Bahasa Jawa.

Oh, rupanya saya salah ambil uang dari dompet. Saya keliru ambil satu lembar uang Rp20.000 yang saya kira itu uang Rp2000. Wujud uang Rp2000 dan Rp20.000 rada-rada mirip. Saya sering salah menerka.

"Wah, tukang sayurnya jujur sekali," begitu komentar istri saya. Saya juga tertegun dengan kejujuran si tukang sayur ini. Andai si tukang sayur diam pun, saya tidak akan menyadari kekeliruan saya. Dan tukang sayur pun bisa "untung" Rp18.000. Tapi itu tidak dilakukannya. Ia lebih memilih mengembalikan uang yang bukan haknya.

Kejujuran si tukang sayur ini sebenarnya menunjukkan stok orang jujur di negeri ini sebenarnya melimpah.  Seperti seorang pekerja bagian kebersihan di Kereta Rel Listik (KRL) yang secara jujur menyerahkan uang Rp500 juta yang dia temukan di kereta saat bekerja kepada petugas. Anda dia tidak jujur, membawa pulang uang itu,  bisa jadi dia akan menjadi orang kaya dalam sekejab. Tapi dia tidak mau melakukan itu, karena dia sadar uang itu bukan haknya. 

Kejujuran yang luar biasa. Bandingkan dengan para koruptor yang dengan sengaja mencuri uang rakyat, miliaran, bahkan triliunan.

Selain stok orang jujur, di negeri ini banyak pula orang-orang pintar dan kompeten untuk mengemban amanah menjalankan organisasi kenegaraan. Tapi orang-orang pintar, jujur dan kompeten tersebut selama ini tidak diberi akses cukup untuk ikut mengelola republik. 

Mereka hanya berada di posisi pinggiran, jauh dari lingkaran kekuasaan. Peran mereka tidak tampak.  Sehingga jarang bisa kita temukan penguasa yang memenuhi tiga kriteria itu : jujur, pintar, dan kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun