Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Banyak Bu Tejo di Sekitar Kita atau Jangan-jangan Kita juga Bu Tejo

30 Agustus 2020   12:00 Diperbarui: 30 Agustus 2020   18:06 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori sosiologi juga dikenal teori solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan rasa solidaritas yang berdasarkan suatu kesadaran kolektif. Bentuk solidaritasnya tergantung pada individu masing-masing yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama pula. Solidaritas mekanik biasanya muncul dari pedesaan. Hal ini dikarenakan solidaritas tersebut akan terbangun pada kelompok masyarakat yang masih sederhana.

Sementara solidaritas organik adalah solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang kompleks. Contohnya, pada masyarakat perkotaan di mana para anggotanya disatukan oleh rasa saling membutuhkan untuk kepentingan bersama. Di dalam solidaritas organik, pembagian kerja sudah jelas untuk masing-masing anggota kelompok. Bahkan disesuaikan dengan bidang atau keahlian masing-masing.

Inilah yang terjadi ketika sopir dalam film "Tilik" akan ditilang oleh Polisi (mewakili masyarakat kota) dan seharusnya sopir bertindak selaku pribadi (organ), dapat lepas dari tilang karena adanya solidaritas mekanik atau guyub.

Dalam kehidupan nyata di masyarakat kita, masyarakat perkotaan yang harusnya menunjukkan ciri-ciri masyarakat gesselschaft ternyata sangat terpengaruh oleh kehidupan masyarakat gemeinschaft, demikian juga sebaliknya.  Acara-acara televisi yang mewakili masyarakat urban, ternyata isinya adalah gosip, bahkan berisi obrolan recehan yang biasanya menemani obrolan di masyarakat gemeinschaft.  Sementara di pedesaan juga sudah sangat terasa pengaruh kehidupan gesselschaft, karena batas antara kota dan desa semakin tipis, antara lain oleh akses yang semakin mudah.

Kita Masyarakat Seremoni

Peluang untuk terciptanya banyak Bu Tejo ini mendapat tempat karena tradisi masyarakat kita banyak melaksanakan perayaan dan atau kegiatan yang melibatkan massa dan uang.  Contohnya perayaan 17 Agustusan, idenya sangat baik agar kita selalu ingat betapa sulitnya meraih kemerdekaan, tetapi bagi yang pernah menjadi pengurus RT merasakan betul bagaimana sulitnya menggalang dana dari masyarakat.  Banyak ditemui orang-orang yang mampu tapi pada saat dimintai sumbangan ada saja alasannya.  Tetapi pada saat pembagian hadiah buat anak-anaknya selalu tampil paling depan.  Jadi ingat adegan Bu Tejo dan salah satu ibu di film "Tilik" yang dengan santainya memperhatikan ibu-ibu yang lain mendorong truk yang mogok. Tapi dialah yang paling heboh di dalam truk.

Contoh lain saat qurban,  ada yang tidak puas karena mendapat daging kambing, karena berharap daging sapi.  Termasuk yang kurban kambing mintanya sapi. Timbullah Bu Tejo-Bu Tejo meramaikan jagat keriuhan qurban.  Niat baik dan bernilai ibadah, yaitu agar masyarakat yang kurang mampu bisa menikmati daging, menjadi ternoda, karena hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hakekat berqurban.

Untuk pembagian raskin atau bantuan tunai langsung kasusnya bisa lebih parah.  Banyak yang berdasarkan data pemerintah layak mendapat bantuan tunai langsung.  Padahal kondisinya mampu.  Tetapi ketika namanya (yang mampu) sudah ada dalam daftar penerima,  lebih baik diambil, karena berkembang isu dengan mudahnya dialihkan ke yang lain.  Gosip pun akan menyebar dengan cepat.  Kok yang mampu dapat.  Pasti ada kerja sama dengan aparat desa.  Aparat desa mengelak dan menyatakan bahwa data itu langsung dari pusat.  Desa hanya menerima data jadi.  Tetapi gosip terlanjur berkembang.

    

Yang tidak Baik adalah Kita

Untuk menutup tulisan ini saya teringat kiriman whatsapp dari seorang teman, yang saya ubah sesuai dengan kondisi ini.  Ketika seorang guru spiritual mendapat pertanyaan dari murid-muridnya yang pandai menilai orang lain, membandingkan kehidupan orang lain namun selalu dijawab oleh guru spiritual itu  “bahwa yang diomongkan belum tentu sesuai dengan penilaian kita, karena kita hanya mampu menilai lahiriahnya saja.  Siapa tahu mereka malah jauh lebih baik dari kita”.  Akhirnya sang murid bertanya:  ”lalu kalau begitu siapa yang tidak baik wahai guru?”  Sang guru menjawab: “yang tidak baik itu terkadang adalah kita, orang ketiga yang selalu pandai menilai orang lain, namun lalai menilai diri sendiri.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun