Mohon tunggu...
Cak Kartolo
Cak Kartolo Mohon Tunggu... -

Iklan rokok membuat masyarakat kita permisif terhadap asap rokok. Pendukung gerakan anti-JPL (Jaringan Perokok Liberal). Penggagas hash tag #buangsajarokokmu

Selanjutnya

Tutup

Money

Pak Jokowi, Tarik Gugatan Indonesia Terhadap Australia di WTO!

10 Januari 2016   15:04 Diperbarui: 10 Januari 2016   16:15 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan pada tautan di bawah ini menyisakan pertanyaan, jika PM dan BAT membiayai 3 negara penggugat Australia ke WTO, lalu atas biaya siapakah RI ikut menggugat kebijakan plain-package pemerintah Australia itu? Dibiayai oleh PM seperti ke-3 negara itu atau dibiayai uang pajak rakyat RI alias APBN? Dimana moralnya ketika otoritas pajak Kemenkeu sibuk berjuang mencari penerimaan pajak untuk pembangunan yang baru mencapai 58%, Kemendag malah membiayai sebuah gugatan konyol demi kepentingan swasta asing?

Kenapa konyol? Gugatan ini sudah melanggar tata krama dan sopan santun hidup bertetangga antar negara. Australia membuat kebijakan plain-package adalah dalam rangka melindungi kesehatan warganya sendiri. Dan demikianlah seharusnya semua negeri bersikap dalam melindungi rakyatnya, kecuali negeri kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

NKRI sebaliknya memperlakukan rakyatnya sebagai tambang atau ATM berjalan. Bukannya membatasi dan mengendalikan rokok, tapi malah merayakan kebodohan secara massive dan terstruktur, melindungi industri rokok yang seharusnya bisa dikategorikan subversif karena melemahkan kesehatan generasi bangsa, dan malah menciptakan rancangan undang-undang, RUU Pertembakauan, agar proses penghisapan ini berjalan lancar, dst.

Sebagai ilustrasi saja, dengan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar Rp 800 per batang, perokok menanggung biaya dan setor ke APBN total sebesar 39,67% atau Rp 526,1 yang terdiri dari cukai, pajak daerah dan PPN. Dengan asumsi tingkat laba bersih industri rokok sebesar 5% dari HJE di atas, perusahaan rokok cukup menyetor ke APBN sebesar 0,84% atau Rp 11,2 saja. Bagian dari perayaan kebodohan di atas adalah dengan ikut menggembor2kan seakan-akan seluruh uang yang disetor ke APBN adalah 'sumbangan' industri rokok bagi penerimaan negara.

[caption caption="Kontribusi perokok terhadap penerimaan cukai di APBN dibandingkan dengan kontribusi pajak industri rokok"][/caption]

Kontribusi perokok terhadap penerimaan cukai di APBN dibandingkan dengan kontribusi pajak industri rokok

Australia memutuskan untuk tidak mau terjebak dalam hubungan kausalitas eksistensi industri rokok dan penerimaan negara yang dalam skala luas dan jangka panjang terbukti malah merugikan negara akibat biaya kesehatan dan dampak sosial yang diakibatkan lebih besar daripada manfaatnya. Dengan mempelopori kebijakan plain-package Australia memutuskan untuk memilih melindungi warganya dari bahaya rokok. Kebijakan ini sudah diikuti oleh negara-negara lain seperti Inggris, Perancis, Selandia Baru, dll dan kemungkinan besar akan banyak diikuti oleh negara-negara yang pemerintahannya memiliki nalar yang benar dan melindungi warganya sendiri.

Dengan perkembangan trend dunia yang pro perlindungan (kesehatan) rakyat demikian maka ketika Indonesia menggugat kebijakan Australia ke WTO, segera terlihat negeri ini sebagai negeri konyol yang nyinyir dan justru menghalangi hak pemerintah negara lain melindungi warganya sendiri. Menjadi pertanyaan semua bangsa2 di dunia, apakah Indonesia tidak setuju dengan prinsip dasar tentang kewajiban negara melindungi rakyatnya? Jika tidak setuju, silakan Indonesia sendiri yang tidak mau melindungi rakyatnya. Lalu apa hak Indonesia mencampuri negara lain melaksanakan kewajibannya terhadap rakyatnya?

Betapa konyolnya posisi Indonesia terlihat di mata dunia. Darimana kekonyolan ini berasal? Dari kolusi pejabat birokrat Kementerian Perdagangan era Gita Wirjawan yang memposisikan jabatannya tak lebih sebagai kepala cabang divisi legal industri rokok Phillip Morris. KPK wajib menyelidiki hubungan2 yang memberi keuntungan materi atau non materi kepada pejabat2 itu, baik ketika sedang maupun setelah tidak menjabat. Kenapa? Kuat dugaan telah terjadi kerugian negara melalui pemanfaatan APBN untuk membiayai kepentingan swasta asing dalam hal ini membiayai gugatan ke WTO.

Jika ternyata Kemendag tidak mengakui pengeluaran tersebut, lalu bagaimana bisa RI mengajukan gugatan ke WTO tanpa biaya? Jika dibiayai oleh PM sendiri seperti halnya ke-3 negara lainnya, secara filosofis pun salah. Bagaimana nama negara bisa dipinjam pakai oleh kepentingan swasta asing untuk menggugat ke WTO? Sudah seharusnya pemerintah Jokowi melakukan langkah koreksi dengan menarik gugatan tersebut dari WTO seperti langkah bijak yang sudah dilakukan oleh pemerintah Ukraina.

Tulisan di bawah ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa dalam TPP masih terbuka kemungkinan skema negara melawan negara dalam sengketa atas nama kepentingan industri rokok. Indonesia termasuk negara pertama yang mempraktikkan gugatan negara vs negara dalam konteks model TPP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun