Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Polisi Sulit Rasional?

1 September 2022   19:14 Diperbarui: 1 September 2022   19:31 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita-cerita teman sepeda motor di kantor polisi tidak aman.  Besok  harinya,  sepeda motor saya dibebaskan.  Saya menumpang tidur di rumah pendeta kami yang dekat dengan kantor polisi. Rumah saya tinggal cukup jauh dari kantor polisi. Sulit pulang karena sepeda motorku ditahan.

Tahun 2000 an saya kuliah lagi  di Bogor dan tinggal di   Jalan Merdeka  persis di samping Polwil Bogor.  Di hari minggu pagi saya naik Vespa  ke Baronang Siang melewati Tugu Kujang.  Sebagi orang baru tidak begi menguasai   jalan di Bogor.  

Berulangkali saya naik sepeda motor melewati Tugu Kujang.   Ternyata di hari minggu  harus membelok ke kiri. Informasi itu tidak saya  pahami. Kemudian saya disemprit   dan dinyatakan melanggar  aturan.   

Saya minta maaf kepada polisi yang langsung datang membawa surat  tilang. Katanya bisa langsung dan lebih murah di tempat.  Tawaran itu  saya tolak dan sepeda motor saya ditilang.   Ketika  saya mengambilnya ke tempat yang ditunjuk dipintu masuk itu  saya Tanya dimana mengambil STNK yang ditilang. Mereka jawab yang lambat atau cepat, saya jawab yang sedang-sedang saja.

Jika saya ceritakan pengalaman saya  berhungungan dengan polisi sangatlah buruk.  Tetapi poin tulisan ini adalah  harapan kepada polisi untuk berubah.   Kita coba belajar   dari kasus FS.  

Bagi saya kasus ini adalah akumulasi kejadian.  Betapa dalamnya seorang FS  melakukan  kekeliruan. Bukankah otak dan tindakan kita hari ini akumulasi pengalaman empirik  kita sebelumnya?   Nurani kita  harus terbiasa kita latih jernih, mulut kita harus terbiasa bicara sopan, dan semua gerak tubuh kita harus kita latih untuk taat hukum dan etika.

Coba kita berpikir jernih,  kasus pembunuhan brigadir J  yang diduga dilakukan FS  menjadi sorotan semua mata.  Andaikan polisi  memiliki sikap  rasional dan  naluri sosial tidak mungkin rasanya pengacara keluarga  brigadir J dilarang  mengikuti reka ulang.  Jika polisi  memahami perasaan publik sejatinya larangan itu tidak ada. 

Jika kita rasionalisasi,  apa resikonya pengacara keluarga  Brigadir J dilibatkan dan tidak dilibatkan?  Dalam konteks inilah kelihatan belum mau rasional. Polisi dalam konteks  kejadian ini masih mempertahankan sikap mau menang sendiri dengan kekuasaannya yang luar biasa.

Kita menyadari bahwa  teknologi makin canggih, jika polisi tidak adaptif maka teruslah  ketinggalan dan menjadi polemik.  Contoh  perubahan teknologi yang  harus diikuti polisi misalnya. 

Andaikan seseorang lupa membawa SIM atau STNK,  lalu polisi bertanya, mana SIM dan STNK. Apakah  seseorang itu  bisa video call dengan keluarga di rumah untuk menunjukkan SIM dan STNK?  Jika polisi mengikuti kecanggihan  teknologi pastinya bisa karena di aturan mengatakan bisa menunjukkan SIM dan STNK.  Jika polisi  memiliki nurani yang terasah pastilah bisa, bukan?

Jika polisi ingin dicinta rakyat maka inilah momentumnya berubah.  Perlu dihindari pangkat naik tetapi kualitas nurani, intelektualitas,  empati dan cinta tanah air  tidak meningkat akan menjadi  masalah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun