Pagi hari sekitar pukul 4.00  WIB di sebuah hotel di Porsea sekitar 2 tahun lalu, saya membuka WhatsApp (WA). Isi WA itu adalah  minta tolong dari  teman yang tinggal di Eropa bahwa keluarganya 7 orang dipenjara karena menebang pohon kecil untuk  kebutuhan kuburan.  Membaca kasus penebangan pohon untuk kebutuhan kuburan langsung saya pahami karena saya lahir dan besar di desa  Nalela, Kecamatan Porsea. Pikiran saya langsung fokus paradigm hukum positif berbenturan dengan hukum adat. Polisi, jaksa dan hakim akan paksakan hukum positif.
Membaca WA itu saya langsung ke Lembaga Pemasyarakatan  (LP) Balige dengan mengajak  Boy Raja Marpaung yang profesinya seorang pengacara di Balige. Di LP kami berbincang dan saya meminta pandangan hukum Boy Raja Marpaung. Boy Raja Marpaung adalah pengacara yang memahami paradigm hukum positif dengan hukum adat.  Dalam dialog di LP itu kami sepakati untuk mendampingi mereka dan kami berikan dukungan ke mereka agar kuat dan tabah. Percayalah, kami akan mendukung  dengan pendampingan hukum.
Dalam siding pertama betapa terkejutnya saya, ternyata salah satu terdakwa adalah Ompung (nenek) Saulina Sitorus dengan usia 92 tahun. Terdakwa  6 anaknya laki-laki (bersaudara dan bertetangga)  dan 1 orang ompung Saulina yang sudah tua renta.  Aku memeluk Ompung Saulina  Sitorus ketika aku mendengar  namanya disebut. Ompung  Saulina Sitorus  tahanan luar, karena itu dalam persepsi  saya  hanya laki-laki.
Ketika selesai sidang, saya antar Ompung Saulina ke pelabuhan kapal menuju rumahnya ke dusun  Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba,  Sumut. Ompung Saulina menyewa kapal batu dengan harga Rp 500.000 pulang pergi ke pengadilan. Dalam perjalanan menuju pelabuhan kapal itulah kami berbicara perihal mengapa Ompung Saulina menjadi tersangka.  Namboru (panggilan saya)  Saulina menceritakan  perihal keikutsertaanya menjadi terdakwa.
Sebetulnya, saya tidak ikut. Mereka dipanggil polisi dan jaksa hanya 6 orang. Tetapi, saya kasihan kepada mereka. Sebab mereka pekerjaanya menangkap ikan di Danau Toba pakai alat tangkap doton.  Doton mereka masih di danau, sementara  mereka sudah dibawa  jaksa ke pengadilan. Ketia itu saya bilang, "ahu ma takkup hamu, ai ahu do manure nasida manaba hau i" ( saya saja ditangkap karena  saya yang menyuruh).  Jaksa mengatakan bahwa saya akan ditangkap.  Saya pikir, jika saya ditangkap dan dipenjara maka 6 orang anak saya dilepas. Jika dilepas, saya pikir anak-anak saya  akan bisa mengambil ikan dari doton yang sudah mereka tancapkan di danau.
Awal ceritanya adalah keluarga  Ompung Saulina ada yang sakit.  Mereka penganut  agama keyakinan  Orang Batak.  Mereka meyakini bahwa jika mereka bangun  tambak (kuburan) leluhur mereka maka keturunannya akan sehat-sehat. Keyakinan itu membuat mereka menabung  secara bersama untuk  membangun tambak leluhur mereka dari beton.  Keyakinan orang Batak memang ada yang demikian. Salah satu cara menghargai leluhur adalah dengan cara membangun kuburan dari beton.
Ketika mau membangun beton, ada pohon durian yang masih amat kecil  (diameter 10 cm) dipotong karena mengganggu  rencana bangunan beton dengan ukuran 2 x 4 m itu.  Ranting-ranting petai, coklat,  kopi  di sekitar rencana bangunan kuburan beton itu dipotong.  Pemotongan 1 buah durian kecil dan ranting-ranting petai, coklat dan kopi itulah dituntun jaksa sebagi pengrusakan. Padahal, status tanah itupun tanah wakap yang telah disepakati tetua adat di dusun Panamean. Secara nalar, jika ada pohon tumbuh di tanah wakaf adalah milik bersama.  Pelapor tidak memiliki tanah, hanya karena kesaksian istrinya dan anaknya pernah panen dari pohon itulah bukti bahwa pohon yang ditebang itu miliknya. Lagi pula, pohon durin masih kecil dan tidak mungkin pernah berbuah.