Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyadarkan Kesetaraan Ilmu Pengetahuan bagi Anak Sejak Dini

16 Oktober 2020   08:19 Diperbarui: 16 Oktober 2020   22:03 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ajarkan anak sejak dini bahwa ilmu pengetahuan itu luas dan tujuannya untuk peradaban manusia dan kelestarian alam. |Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang tua mengeluh tentang banyaknya mata pelajaran di sekolah. Sebelum pandemi Covid-19 beberapa pendapat yang mengeluhkan anak yang membawa buku ke sekolah yang amat banyak dan berat. 

Banyak pendapat yang mengatakan anak itu fokus kepada pelajaran tertentu saja sesuai bakat. Kalau anak bakat matematika maka fokus matematika saja. Jika anak bakatnya seni maka fokus seni saja. 

Bagaimana kelak jika anak pandai matematika tanpa memiliki seni, kepekaan sosial, dan humanisme yang kuat? Bagaimana pula anak yang seninya bagus tanpa pengetahuan matematika dasar? 

Bagaimana sesungguhnya menerapkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi eksak, non eksak, seni budaya, dan berbagai ilmu pengetahuan lain?

Dialog pendidikan itu tidak pernah tuntas. Dalam dunia pendidikan formal tahun 2004 dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tahun 2006 dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kini dikenal dengan Kurikulum Tiga Belas atau Kurtilas. 

Di Kurtilas secara mendasar dikenal dengan mata pelajaran tematik. Mata pelajar tematik itu terkesan dipaksakan karena tidak semua tema membutuhkan ilmu-ilmu lain. 

Ketika saya Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 90-an, saya memilih jurusan Fisika (A-1). Ketika kelas satu SMA saya rajin belajar Fisika, Matematika, Kimia, dan Biologi agar masuk jurusan Fisika. Alasannya adalah karena jurusan A1 itu keren. 

Ketika kelas satu SMA jurusan A1 itu dipuja puji guru karena dikenal pintar. Hampir setiap pagi hari ketika baris berbaris di halaman sekolah guru meminta agar kami yang kelas satu yang belum memiliki jurusan meniru jurusan Fisika. 

Anak-anak Fisika itu dikenal dengan kalem, tenang, baik, dan pintar. Pujian itulah yang memotivasi saya belajar keras agar terpilih masuk jurusan Fisika.

Alasan lain memilih jurusan Fisika adalah ketika seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) bisa memilih semua jurusan yaitu eksak dan non eksak. Jika memilih jurusan IPS maka seleksi UMPTN ketika itu hanyalah bisa mengikuti jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) saja. 

Jika SMA jurusan IPS tidak boleh ujian masuk Perguruan Tinggi (PT) jurusan Teknik, Kedokteran, Pertanian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Farmasi, Arsitektur, dan lain sebagainya.

Ketika saya melewati masa-masa sekolah, muncul pertanyaan apakah relevan ilmu itu dikategorikan eksak dan non eksak? Untuk apa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu? Bukankah ilmu pengetahuan itu acapkali bertentangan? 

Sebagai contoh ilmu ekonomi dan ilmu ekologi selalu benturan. Karena benturan ilmu ekologi dengan ekonomi maka menghasilkan benturan yang menghasilkan konflik antara pecinta lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. 

Kawasan hutan jika dijaga dengan baik maka nilainya 100 dari ilmu ekologi. Tetapi nilai nol dari ilmu ekonomi. Sebaliknya, hutan jika dieksploitasi maka nilainya 100 dan nol bahkan minus atau membahayakan bagi ahli ekologi. 

Benturan ahli ekonomi dan ekologi berdialog dengan menghasilkan ekonomi lingkungan (environmental economics).

Memahami luasnya Samudra ilmu pengetahauan, bagaimana agar anak kita tidak terbeban atau bahkan stres untuk mempelajarinya? Dari pengamatan saya, kita harus mulai dari kebiasaan anak berdialog. 

Dikotomi eksak dan non eksak memahami bahwa eksak dianggap lebih keren harus kita tinggalkan. Mengapa? Karena realitanya ahli matematika tanpa memahami ilmu lain seperti persoalan sosial maka ilmu matematika tidak dapat digunakan untuk mengatasi persoalan sosial. 

Ilmu pengetahuan lahir untuk menjawab persoalan masyarakat dan memperkirakan ancaman hari ini dan esok bagi masyarakat harus disiasati dengan ilmu pengetahuan.

Seorang ahli matematika jika berpikir dan khawatir akan kondisi energi fosil, maka ahli matematika akan menggunakan ilmunya untuk memprediksi kapan habis. 

Kemudian, ahli matematika itu akan berpikir alternatif untuk menggantikan energi fosil dengan isu energi terbarukan yang diisukan oleh pakar-pakar di bidang energi. 

Isu pakar energi mewacanakan biodiesel dari minyak kelapa sawit dan buah jarak. Tentu saja ahli matematika menggunakan ilmunya untuk menghitung luas lahan yang dibutuhkan, penurunan kualitas tanah, dan kebutuhan akan energi. Apakah energi terbarukan itu solusi atau tidak untuk kebutuhan energi bagi masyarakat?

Pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu hadir untuk kebutuhan manusia. Tetapi, dalam praktik ilmu pengetahuan bergeser menjadi mencari keuntungan finansial. Banyak orang memilih profesi berdasarkan jumlah uang. Padahal, pekerjaan atau profesi sejatinya untuk pengabdian melalui ilmu pengetahuan yang kita miliki. 

Sejatinya kita memilih profesi berdasarkan panggilan hidup dan pergumulan batin. Pergumulan batin untuk menjawab persoalan masyarakat itulah kebahagiaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, ahli hukum bicara energi, ahli pertambangan bicara energi, dan ahli ekonomi bicara energi pengetahuannya tidak jauh berbeda. Berbeda karena sudut pandang atau perspektif. 

Hal yang membedakan adalah Teknik pertambahan profesional di bidang teknisnya dan ahli hukum bicara kegiatan-kegiatan pengelolaan energi berdasarkan perspektif hukum. 

Ahli ekonomi memberikan pendapat akan kesinambungan pengelolaan energi berdasarkan ilmu ekonomi. Artinya, ahli pertambangan, ahli hukum dan ahli ekonomi harus berdialog masalah pengelolaan energi. Mereka juga harus berdialog dengan ahli sosiologi dan anthropologi dalam rangka melakukan penambangan energi di suatu daerah.

Semua ilmu pengetahuan itu saling terkait, karena itu sangat mengherankan jika ada kesan bahwa ilmu kedokteran lebih keren dari ilmu sastra. Ilmu teknik lebih keren dari pertanian. 

Keterbatasan ilmu pengetahuan kita membutuhkan dialog dengan berbagai ilmu lainnya untuk menjawab persoalan masyarakat. Seorang pemain bola atau pemain bulu tangkis perlu belajar dengan ahli fisika dan matematika dalam rangka optimalisasi kariernya sebagai olahragawan. 

Betapa hebatnya, jika pemain bola belajar fisika dalam menendang bola. Dalam fisika kita mengenal gerak parabola. Demikain juga cara mengatasi lapangan yang berbeda, tentu membutuhkan ilmu fisika soal gesekan.

Bagaimana cara agar anak kita senang berdialog dengan temannya agar wawasannya luas? Dalam kondisi inilah kita latih anak kita untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi. 

Kepekaan sosial ini membuat anak senang berpikir untuk menolong orang lain dan lama kelamaan akan berpikir besar untuk banyak orang. Kepekaan sosial ini menyadarkan si anak untuk mencari seluruh ilmu pengetahuan untuk menolong orang. 

Berangkat dari titik ingin menolong orang akan membuat dia belajar banyak tentang samudra ilmu pengetahuan. Jika anak mau menolong yang diperlakukan tidak adil, maka dia akan belajar hukum. 

Jika anak mau menolong petani miskin, dia akan berdialog dengan ahli pertanian. Dialog-dialog itulah kelak membuat anak mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu untuk menjawab kebutuhan masyarakat. 

Kesadaran akan keterkaitan ilmu pengetahuan, bahwa satu ilmu dengan ilmu lainnya saling ketergantungan. Ilmu pengetahuan apapun sama nilainya. Terpenting ilmu pengetahuan itu untuk menjawab kebutuhan masyarakat masa kini dan menyiasati risiko yang akan muncul hari esok. 

Ketika anak senang dengan ilmu pengetahuan, anak-anak itu akan menyenangkan. Hanya, orangtua harus mengontrol anak agar persepsi bahwa ilmu A lebih keren dari ilmu B adalah kekeliruan. 

Mari kita ajarkan anak sejak dini bahwa ilmu pengetahuan itu luas dan tujuannya untuk peradaban manusia dan kelestarian alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun