Mohon tunggu...
Agnes Hening Ratri
Agnes Hening Ratri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, suka traveling dan melakukan aktivitas kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intan, Malaikat Kecil dengan 'Sayap Ungu'

14 November 2016   14:20 Diperbarui: 14 November 2016   15:44 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Intan Marbun, bocah kecil dengan rambut kriwil dan mata jernih, bulat dan mempesona. Senyumnya sangat manis serupa malaikat yang ada di negeri dongeng. Ia laksana kupu-kupu yang bersayap indah, mempesona jutaan mata. Usianya baru tiga tahun, ia baru belajar mengeja huruf dan kata-kata. Ia pun sedang belajar menyanyikan lagu-lagu rohani di sekolah minggu. Ia sedang belajar untuk menjadi bocah yang semakin cerdas dan menjadi anak Tuhan yang paling baik.

Tak terkecuali di minggu pagi, 13 November 2016. Intan dengan cerita menggendong ransel ungu kesukaannya, memakai rok dan bersepatu mungil. Hari itu ia laksana kupu-kupu yang siap terbang. Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur akan ibadah jam 10 pagi, ini saatnya ia dan keluarga berdoa dan mengucap syukur atas rejeki dan anugerah kehidupan selama ini.

Ibadah dilaksanakan bagi jemaat dewasa, sedangkan anak-anak akan mengikuti sekolah minggu. Sekolah minggu inilah yang selalu dirindukan Intan, untuk bermain dan bernyanyi bersama teman-temannya. Tak terkecuali pagi itu. Dengan semangat ia berlari-lari kecil, dengan rambut ikal yang bergoyang-goyang ditiuo angin. Sesekali kakinya melompat karena girang di halaman gereja. Ia berlari-lari menggoda beberapa kawan sekolah minggu. Tas ransel di punggungnya ikut bergerak seperti sayap kupu-kupu. Ia menghentakkan kakinya dengan sempurna, seolah ingin tunjukkan pada matahari pagi bahwa ia amat bahagiaa hari itu.

Matanya jernih bersinar, ia berkedip seperti mengajak bercanda siapaun yang bersirobak pandang dengannya. “Pagi….pagi….” teriaknya menyapa kawan-kawan. Kegirangannya bermain pagi itu luar biasa. Ia amat senang menyambut hari, ia menyentuh bunga-bunga yang bermekaran di halaman gereja, menciumnya dan sesekali mengelus dedaunnya. Intan…ia serupa kupu-kupu yang hinggap pagi ini.

Ia pun seolah mengacuhkan bahwa bahaya tengah mengintipnya. Sepasang mata lelaki dengan amarah seperti setan di ujung jalan, dekat pintu masuk gereja. Lelaki yang menenteng kebencian di tas kresek yang ia bawa. Ia benci dengan Intan? Tentu tidak, intan tidak pernah mengenalnya, ia tidak pernah bersapa dengan lelaki jalang tersebut. Ia bahkan tak pernah berfikir bahwa pagi itu ada kemarahan yang sedang di sulut dari seorang lelaki berkaos hitam.

Intan masih sibuk bermain dan bercanda, ketika tiba-tiba sebuah bungkusan melayang diantara udara pagi, terhempas ke lantai yang tak jauh dari Intan bersama tiga temannya bercanda. Yah..mereka tak pernah tahu bahwa kebencian itu telah dilempar lelaki bermata jalang dan menyala bak serigala. Sebuah bom kemudian menghempaskan tubuh mungil Intan dan teman-temannya.

Raga kecil dengan rambut ikal dan tas berwarna ungu, mengerang dalam kepedihan, merasakan luka yang tak terkatakan. Mata bulat dan jernih itu terpejam, merasakan panas yang menyergapnya. Ia tak sanggup berteriak memanggil mama…ia tak sanggup lagi memanggil papa…

Ia tak tahu lagi kemana tubuh mungil kawan-kawannya terhempas oleh ledakan yang belakangan diketahui sebuah bom rakitan. Ia tak sempat mendengar apa-apa setelahnya. Gendang telinganya tiba-tiba seperti meledak oleh dentuman yang teramat keras. Ia hanya merasakan tubuhnya melayang…melayang..melayang…

Intan merasakan terbang ke tempat yang sangat tinggi…di mana ia melihat pelangi berpijar amat indah..lebih indah dari yang pernah ia lihat. Ia melihat bunga-bunga dan kupu-kupu bercanda mesra. Menebarkan nuansa ceria dan bahagia tak terkatakan. Intan menemukan ribuan kupu tengah terbang mendekat..mengajaknya bermain dan bernyanyi. Ia merasakan kehangatan laur biasa hari itu.

Ia tak menemukan tuhuh kecilnya meleleh dan hancur karena bom, ia tak menemukan sedikitpun sakit yang kemarin sempat mendera raganya. Ia tak lagi melihat selang infuse menancap di tubuh kecilnya, tak lagi merasakan selang oksigen menjelali hidungnya yang mungil. Ia tak lagi merasakan pembalut melilit raganya lagi. Ia bahkan tak merasakan apa-apa kini…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun