Mohon tunggu...
guntursamra
guntursamra Mohon Tunggu... Buruh - Abdi Masyarakat

Lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan. Isteri : Samra. Anak : Fuad, Afifah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Kartini Bukan Hanya Perayaan

22 April 2019   09:17 Diperbarui: 22 April 2019   09:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Paham peninggalan nenek moyang itu yang seharusnya lestari dikarenakan penuh muatan nilai etika dan pelajaran moral dinilai telah lusuh dan kolot.  Atas nama modernitas, paham itu ditinggalkan lalu disubtitusi menjadi wajah kapitalis, yang semuanya diukur berdasarkan kepuasan akan materi. 

Sungguh bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902, "Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan".  Emansipasi ditranformasi berdasarkan kepentingan.  Kartini tinggallah mitos, sekedar simbol entitas melalui pakaian adat dan sanggul yang dipertontonkan dan dirayakan setiap sekali dalam setahun tanpa meninggalkan kesan. 

Sosoknya kehilangan ruh, ajarannya hanyalah dongeng di mata gadis remaja yang tanpa malu berpakaian alakadarnya dan melepas keperawanannya tanpa rasa berasalah, ideologinya terbunuh di sudut-sudut kamar hotel remang-remang sebagai pemuas nafsu berahi hidung belang, pemikirannya meregang nyawa di tangan pelaku seni yang hanya bermodalkan tubuh tanpa moral, tuntunannya sekarat dalam kerakusan istri-istri konglomerat yang taunya cuma arisan dan menghambur-hamburkan uang, cita-citanya mati di tangan ibu-ibu sosialita yang sabang hari hanya bergosip dan membicarakan aib sesamanya. 

Kartini tidak lagi dianggap pelopor penyeimbang peran perempuan di ruang publik dengan modal emansipasinya yang tetap mempertahankan kodrat keperempuanannya, namun Kartini berubah fungsi menjadi dalih tanpa batasan, lalu dijadikan pijakan dalam mengejar otoritas kontrol terhadap kaum pria.  

Padahal "Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali." ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Kesetaraan gender sewajarnya jangan diartikan liar, tapi mestinya menjadi ruang ekspresi perempuan dalam memperoleh pengakuan publik secara adil.  Menunjukkan kapasitas kemampuan tidak mesti bergelut dan ikut larut dalam arus tuntutan zaman, tapi mestinya dapat dijadikan simbol penegasan identitas sekaligus wadah pencerahan bagi publik, bahwa perempuan juga mampu.

Persepsi apapun itu, pro maupun kontra tentang hidup perempuan masa kini dengan segala aktivitasnya, lahir dikarenakan perhatian yang begitu besar terhadapnya.  

Sebab kita tidak mau, anak-anak perempuan Indonesia terbentuk dari pemahaman kesetaraan gender yang keliru dan meninggalkan adat ketimuran sebagai identitas kepribadiannya, pun kita tak ingin generasi-generasi perempuan Indonesia tercipta dari produk-produk emansipasi yang terkontaminasi oleh paham kapitalis budaya barat, lalu bertindak picik dan kerdil tatkala menempatkan dirinya di ruang publik.  

Akhirnya, penulis ucapkan "Dirgahayu perempuan-perempuan Indonesia" semoga Hari Kartini Tahun 2019 ini, menjadi momentum kembalinya sosok Kartini yang sebenarnya, bukan hanya dirayakan tapi diteladani, bebas namun bertanggung jawab.  Semoga.

Sinjai, 21 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun