Mohon tunggu...
guntursamra
guntursamra Mohon Tunggu... Buruh - Abdi Masyarakat

Lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan. Isteri : Samra. Anak : Fuad, Afifah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Kartini Bukan Hanya Perayaan

22 April 2019   09:17 Diperbarui: 22 April 2019   09:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era moderen seperti saat ini, di tengah hiruk pikuknya arus transformasi yang semakin liar, seyogyinya kaum perempuan membekali diri dengan berbagai kemampuan untuk bisa tampil mandiri, kreatif dan penuh inovatif dalam menggabungkan dirinya di ruang publik.  Sebab hal inilah yang bisa mencegah kerancuan persepsi sebagian perempuan moderen dalam menanggapi fenomena pergeseran budaya yang semakin kuat menerpa kesehariannya.

Perempuan sejatinya tidaklah meninggalkan perannya dalam menjalani era kertebukaan seperti sekarang ini.  Penafsiran keliru tentang proyek emansipasi mestilah dihijrahkan dari pemahaman entitas menuju kualitas.  

Sudah bukan saatnya peran perempuan bergerak hanya di wilayah mengatasnamakan gender, akan tetapi lebih dari itu mestilah melangkah merubah mindset pemikiran dalam melihat kehidupan secara universal.

Tak bisa dipungkiri, sumbangsih perempuan dalam dunia nyata memiliki peran penting hampir di setiap sektor kehidupan.  Tinggal bagaimana mereka mampu memilah lalu memilih dan memamfaatkan peluang tersebut untuk bisa menjadikannya bukti bahwa mereka memang pantas bergerak bersama kaum adam, bukan malah terbelenggu pada lingkaran pemahaman atas nama gender lalu memposisikan diri pada semua bidang yang notabene makin menjauhkan figur perempuan itu sendiri seperti yang dicita-citakan Kartini sebelumnya. 

Perempuan moderen mestinya adalah mereka yang mampu menggali potensinya, menunjukkan karyanya tanpa melupakan hakikat kewanitaannya.  Perempuan-perempuan seperti inilah yang dibutuhkan negeri ini, bukan mereka yang terkungkung pada kehidupan dapur, sumur dan kasur ataukah mereka yang cuma mampu mempertontonkan keindahan dan kemolekan jasadnya tapi tidak memiliki bias yang bisa dijadikan kebanggaan dari segi kemampuan intelegensi.

Kesetaraan gender haruslah diartikan luas namun terkendali, bebas tapi bertanggung jawab. Pemaknaan emansipasi mesti segera dikembalikan ke pemahaman sesuai konsep pengertian Kartini sebelumnya, dimana kaum perempuan pribumi diperjuangkan agar memperoleh akses dan pengakuan yang sama dalam hal menuntut ilmu seperti pria.  

Hal ini disinggung oleh Ibu Kartini dalam suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901, "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya.  Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama".

Kartini seperti yang kita ketahui adalah wanita yang hidup di era feodalistik yang kental, mempertanyakan perlakuan adat Jawa yang menurutnya telah mengkungkung kebebasan sesamanya, membatasi ruang gerak serta membunuh potensi pengembangan diri yang dimiliki kaum hawa pada masa itu.  Hal inilah yang ingin dirubah dan diluruskan oleh seorang Kartini. 

Namun seiring berjalannya waktu, cita-cita luhur yang dibawa Kartini dulu mulai bergeser arti dan maknanya.  Kartini bukan lagi menjadi ikon perempuan inspiratif intelektual yang saling melengkapi dengan kaum pria, tapi berubah menjadi brand dominasi emansipasi terhadap kaum adam.  

Perjalanan pergeseran nilai ini diawali dari sebuah kekalutan memaknai kesetaraan gender, tatkala serangan arus globalisasi tak mampu terbendung, lalu mengaburkan pemahaman perempuan-perempuan masa kini yang tanpa sadar bergerak semakin jauh meninggalkan identitas kewanitaannya.

Emansipasi dan kesetaraan gender hanyalah dijadikan tameng demi mengejar obsesi duniawi.  Batasan-batasan melalui budaya ketimuran yang sejatinya berfungsi pencegahan dan telah menjadi jati diri bermasyarakat sejak dulu, kini dianggap tidak lebih dari ajaran keliru yang mengebiri kebebasan.  

Paham peninggalan nenek moyang itu yang seharusnya lestari dikarenakan penuh muatan nilai etika dan pelajaran moral dinilai telah lusuh dan kolot.  Atas nama modernitas, paham itu ditinggalkan lalu disubtitusi menjadi wajah kapitalis, yang semuanya diukur berdasarkan kepuasan akan materi. 

Sungguh bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902, "Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan".  Emansipasi ditranformasi berdasarkan kepentingan.  Kartini tinggallah mitos, sekedar simbol entitas melalui pakaian adat dan sanggul yang dipertontonkan dan dirayakan setiap sekali dalam setahun tanpa meninggalkan kesan. 

Sosoknya kehilangan ruh, ajarannya hanyalah dongeng di mata gadis remaja yang tanpa malu berpakaian alakadarnya dan melepas keperawanannya tanpa rasa berasalah, ideologinya terbunuh di sudut-sudut kamar hotel remang-remang sebagai pemuas nafsu berahi hidung belang, pemikirannya meregang nyawa di tangan pelaku seni yang hanya bermodalkan tubuh tanpa moral, tuntunannya sekarat dalam kerakusan istri-istri konglomerat yang taunya cuma arisan dan menghambur-hamburkan uang, cita-citanya mati di tangan ibu-ibu sosialita yang sabang hari hanya bergosip dan membicarakan aib sesamanya. 

Kartini tidak lagi dianggap pelopor penyeimbang peran perempuan di ruang publik dengan modal emansipasinya yang tetap mempertahankan kodrat keperempuanannya, namun Kartini berubah fungsi menjadi dalih tanpa batasan, lalu dijadikan pijakan dalam mengejar otoritas kontrol terhadap kaum pria.  

Padahal "Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali." ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Kesetaraan gender sewajarnya jangan diartikan liar, tapi mestinya menjadi ruang ekspresi perempuan dalam memperoleh pengakuan publik secara adil.  Menunjukkan kapasitas kemampuan tidak mesti bergelut dan ikut larut dalam arus tuntutan zaman, tapi mestinya dapat dijadikan simbol penegasan identitas sekaligus wadah pencerahan bagi publik, bahwa perempuan juga mampu.

Persepsi apapun itu, pro maupun kontra tentang hidup perempuan masa kini dengan segala aktivitasnya, lahir dikarenakan perhatian yang begitu besar terhadapnya.  

Sebab kita tidak mau, anak-anak perempuan Indonesia terbentuk dari pemahaman kesetaraan gender yang keliru dan meninggalkan adat ketimuran sebagai identitas kepribadiannya, pun kita tak ingin generasi-generasi perempuan Indonesia tercipta dari produk-produk emansipasi yang terkontaminasi oleh paham kapitalis budaya barat, lalu bertindak picik dan kerdil tatkala menempatkan dirinya di ruang publik.  

Akhirnya, penulis ucapkan "Dirgahayu perempuan-perempuan Indonesia" semoga Hari Kartini Tahun 2019 ini, menjadi momentum kembalinya sosok Kartini yang sebenarnya, bukan hanya dirayakan tapi diteladani, bebas namun bertanggung jawab.  Semoga.

Sinjai, 21 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun