Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Karakter Tersesat

30 Oktober 2016   12:26 Diperbarui: 2 November 2016   18:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada kekeliruan mendasar pemahami regulasi yang menyangkut pendidikan, yaitu dalam pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pendidikan Nasional berfungsi:

  1. Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
  2. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam poin pertama fungsi pendidikan nasional ditujuksn untuk bangsa bukan untuk peserta didik, hal ini berbeda dengan poin kedua, fungsi ditujukan untuk peserta didik. Oleh karena itu, kata membentuk karakter serta peradaban bangsa mengandung arti membentuk karakter bagsa dan peradaban bangsa, bukan karakter peserta didik. Sehingga regulasi turunan terkait UU sistem pendidikan nasional yang menjelaskan fungsi pendidikan nasional untuk membentuk karakter peserta didik adalah kekeliruan.

Salah kaprah kementerian pendidikan merupakan wujud kesewenang-wenangan rezim penguasa. rezim pemerintah yang berkuasa ingin terlampau jauh membiarkan rezimnya menentukan kehidupan warga negaranya. Kementerian seyogianya menjadi alat pemerintah untuk mencapai tujuan negara, bukan alat penguasa untuk menentukan warna kekuasaannya.

Fungsi pendidikan nasional untuk peserta didik ada di poin kedua, yaitu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,.................Berdasarkan hal ini berbagai kebijakan untuk mengarahkan karakter tertentu pada peserta didik patut ditinjau ulang, karena menyalahi kodrati manusia, tidak sesuai regulasi dan mengandung pelanggaran HAM.

Pandangan diatas diperkuat oleh INPRES Nomor 1 Tahun 2010Bidang Pendidikan: Penguatan metodologi dan Kurikulum yang menyatakan keluarannya menghasilkan hal berikut “ Terimplementasinya uji coba kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”. Artinya pembentukannya adalah karakter bangsa bukan karakter peserta didik.

Mengutip dari website, Bapak Presiden telah mengamanattkan dalam Nawa Cita, untuk menempatkan Pendidikan Karakter pada jenjang pendidikan dasar merupakan elemen yang sangat penting, dengan proporsi untuk Sekolah Dasar 70 persen dan Sekolah Menengah Pertama 60 persen. Untuk menerjemahkan amanat tersebut, kami tempatkan Pendidikan Karakter menjadi Program Prioritas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai proses pembentukan generasi muda yang tangguh dan berkarakter,” demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dalam acara pembukaan dialog pendidikan, di gedung Guru, kantor Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Jakarta, Kamis (08/09/2016).

Mari kita telaah redaksi amanat asli Presiden dalam Nawa Cita tentang pendidikan yaitu  melakukan revolusi karakter bangsa, antara lain: (a) Membangun pendidikan kewarganegaraan, (b) Menghilangkan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, (c) Jaminan hidup yang memadai bagi para guru terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil.

Pada poin berikutnya dalam nawa cita Presiden, yaitu memperteguh ke-bhinneka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, antara lain: (a) Memperkuat pendidikan ke-bhinneka-an dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. (b) Mengembangkan insentif khusus untuk memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan lokal (c) Meningkatkan proses pertukaran budaya untuk membangun kemajemukan sebagai kekuatan budaya

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka jelaslah bahwa yang dibentuk itu karakter bangsa dalam hal ini presiden menggunakan kata-kata revolusi karakter bangsa. Deskripsi berikutnya adalah memperteguh ke-bhinneka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Kata bhinneka menunjukkan pengakuan perbedaan karakter warga negara namun pada akhirnya membentuk karakter bangsa. Oleh karena itu, program pendidikan karakter telah mengandung sesat pikir, karena tidak memiliki cantolan hukum dan kesalahan tafsir atas cara berpikir presiden dalam nawa cita.

Karakter bangsa merupakan tanggungjawab negara yang dijalankan oleh salah satu pelakunya yaitu pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan. Karakter bangsa tidak mengintervensi atau memaksakan karakter individu dalam hal ini peserta didik. Karakter bangsa sesuai dengan kepribadian bangsa, dasar negara, tujuan dan filosofi negara. Jika ada tuntutan terhadap perilaku warganya adalah dalam rangka kehidupan bernegara, bukan menyangkut kehidupan pribadi. 

Sebagai contoh, jika seseorang mewakili pribadi negara, maka dalam kegiatan protokoler resmi di luar negeri ia harus menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia harus berbicara sesuai dengan aturan hukum dan norma Indonesia.  Hal yang sama dengan perilaku kehidupan bernegara di negeri kita tercinta, maka semua warga Indonesia harus sepakat menjalankan apa yang telah diatur oleh pemerintah, seperti hari libur nasional, dasar organisasi, menempelkan foto presiden dan wakil presiden di dinding perkantoran, menyerahkan pencuri atau pelaku kejahatan kepada polis republik Indonesia.

Bagaimana mungkin pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan, jika belum ada konsepsi apa itu karakter bangsa. Konsepsi ini harus dibuat oleh lembaga tinggi negara, bahkan idealnya ia harus di atas Undang-Undan, agar dapat memiliki kekuatan hukum. Dalam kehidupan bernegara Tap MPR dapat menjadi produk hukum yang mengeluarkannya. Sampai tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan dokumen resmi tentang konsepsi karakter bangsa. 

Walaupun demikian, konsepsi dasar negara yang  tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dapat menjadi rujukan untuk menentukan karakter bangsa. Oleh karena belum ada konsepsi resmi dengan nama karakter bangsa, maka konsep yang selama ini berbedar harus dianggap sesat.  Negara belum pernah memaksakan karakter warganya, bahkan konsepsi karakter bangsa belum disusun secara khusus, ia hanya tertuang dalam pemikiran pendiri bangsa.

Karakter bangsa menjadi wilayah kebijakan lembaga-lembaga negara, sehingga kementerian pendidikan hanya sebagai alat untuk mewujudkannya, bukan mengambil alih peran tersebut dengan memberikan konsepsi karakter untuk peserta didik (warga negara). Lembaga negara lah yang paling punya kapasitas dengan didasari oleh filsafat negara, oleh karena Pancasila sebagai dasar negara, maka karakter bangsa tidak boleh melanggar nilai-nilai tersebut atau karakter bangsa merupakan penterjemahan dari nilai-nilai Pancasila saja.

Lantas, apakah yang dilakukan kementerian pendidikan keliru?. Menurut Saya hal ini bukan lagi kekeliruan tetapi sudah pada kesesatan. Kementerian sudah melampau kewenangannya, ia harus dikembalikan kembali sebagai alat pemerintah. Pengarahan  karakter warga negara sebenarnya sudah menyalahi asas hak kemerdekaan. Tindakan ini pada hakekatnya model-model pemerintahan otoriter ataupun negara kolonial terhadap daerah jajahannya. Negara tidak perlu campur tangan untuk menentukan karakter warganya, negara hanya perlu mengingatkan dan karakter warganya tidak bertentangan dengan karakter bangsa.  

Kalaupun program ini harus berjalan secara penamaan ia harus diganti dengan istilah pendidikan karakter bangsa. Jika ini dijalankan, seyogianya pelaksananya bukan kementerian pendidikan, melainkan lembaga negara seperti MPR. MPR tidak perlu lagi melakukan sosialisasi 4 pilar yang jelas-jelas keliru. MPR harusnya merumuskan karakter bangsa yang merangkup segenap pihak dan sesuai dengan garis-garis cita-cita bernegara dari para pendiri negara. 

Konsepsi tersebut harus diajarkan bukan sebatas disosialisasi dengan melibatkan berbagai kementerian teknis yang memiliki jaringan dan sumberdaya. Untuk masyarakat umum dapat menggunakan kementerian pendidikan dan kebudayaan, untuk aparatur negara dapat menggunakan KemenPan, untuk Polisi dan TNI dapat menggunakan Kapolri atau Panglima TNI. Melalui hal tersebut, segala pendidikan yang berlangsung di Indonesia tidak boleh melanggar hal-hal dalam pendidikan karakter bangsa. Segala pendidikan tidak boleh semena-mena menentukan karakter tertentu yang harus dimiliki oleh peserta didiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun