Apresiasi Pemerintah untuk Sastrawan Indonesia
Oleh Gunoto Saparie
Pemerintah akhirnya turun tangan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak dua tahun terakhir memberikan bantuan untuk sastrawan: Rp25 juta bagi yang telah menulis 40 tahun, Rp40 juta bagi yang bertahan hingga setengah abad. Angka yang, di mata birokrasi, barangkali terlihat cukup rapi. Ada logika akuntansi yang sederhana: durasi kerja sama dengan jumlah dana. Empat dekade sama dengan 25 juta. Lima dekade, 40 juta.
Tetapi, siapakah yang bisa mengukur kerja sastra dengan kalender?
Sastrawan tak pernah benar-benar bekerja dengan jam kantor. Ia menulis bukan karena kontrak kerja, bukan pula demi upah bulanan. Ia menulis, barangkali, karena ada desakan batin. Karena ada kalimat yang menolak diam. Karena ada dunia yang harus ia lawan, atau sekadar ia rekam. Ia menulis dalam kesepian yang kadang panjang, dalam ruang yang sering sepi dari pembaca. Apakah 25 juta bisa mengganti itu? Ataukah angka itu hanya sebuah tanda: negara hadir atau ingin terlihat hadir?
Ada yang getir, tentu. Ketika bantuan diumumkan, yang segera muncul bukan pertanyaan tentang jumlah, melainkan tentang syarat. Siapa yang menentukan sastrawan itu "sudah menulis" selama 40 tahun? Apa yang dimaksud dengan menulis? Apakah menerbitkan buku di penerbit besar? Apakah menulis cerpen di koran? Atau cukup dengan menulis puisi di majalah daerah?
Kita tahu, sejarah sastra Indonesia tidak pernah ditulis hanya oleh nama besar. Ada ratusan, ribuan penulis di kota-kota kecil, yang menerbitkan bukunya dengan biaya sendiri, yang kadang hanya dicetak 200 eksemplar. Mereka bertahan, menulis, mengajar, membacakan karya di ruang-ruang kecil. Mereka pun telah melampaui 40 tahun. Apakah negara akan menemukannya?
Bantuan ini, kata pemerintah, adalah bentuk apresiasi. Kata itu penting: apresiasi. Tetapi apresiasi macam apa yang diukur dengan angka? Apresiasi yang baik, mestinya, juga memberi ruang untuk membaca kembali karya mereka. Memberi ruang publikasi, ruang diskusi, ruang agar generasi baru mengenal suara mereka. Apa artinya Rp40 juta jika buku-buku itu tak lagi beredar? Apa gunanya sebuah angka jika karya mereka hanya jadi arsip berdebu di perpustakaan daerah?
Kita pernah belajar dari Chairil Anwar. Ia mati muda, di usia 27. Ia tak sempat menulis 40 tahun. Tetapi ia mengubah wajah sastra Indonesia. Ia yang memberi nafas baru pada bahasa. Apa yang bisa dikatakan bantuan itu untuk Chairil? Ia tak akan pernah memenuhi syarat administrasi.
Barangkali, justru di situ ironi program ini. Sastra tak mengenal angka-angka lurus. Seorang penulis bisa memberi makna mendalam hanya dengan satu buku. Satu sajak. Bahkan satu kalimat. Dan kalimat itu bisa hidup lebih lama daripada semua bantuan yang tercatat dalam laporan tahunan kementerian.
Mungkin pemerintah hanya ingin menghargai ketekunan. Itu pun baik. Ada sastrawan yang menulis dalam sunyi, dalam hidup yang serba pas-pasan. Ada yang tetap menyalakan lampu kecil di rumahnya demi menulis, sementara listrik sering padam. Ada yang menjual ayam piaraannya demi mencetak buku tipis. Untuk mereka, uang itu mungkin bukan sekadar simbol: ia bisa jadi biaya hidup, biaya berobat, atau sekadar tanda bahwa mereka tidak benar-benar dilupakan.