Menuju Hari Museum Indonesia
Oleh Gunoto Saparie
Ada yang tak kunjung selesai dalam ingatan. Sesuatu yang lama, sesuatu yang ditinggalkan, tapi tak pernah benar-benar mati. Museum, mungkin, adalah cara kita menyimpan sisa-sisa waktu.
Kementerian Kebudayaan beberapa hari lalu menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD---Focus Group Discussion) Rancangan Undang-Undang tentang Permuseuman dibicarakan di sebuah ruang bernama Graha Utama, Jakarta. Sebuah nama yang besar, seperti besar pula ambisi untuk mengatur bagaimana sebuah institusi bernama museum hadir di negeri ini.
Tetapi undang-undang, sebagaimana hukum lain, tak pernah bisa menampung sepenuhnya apa yang disebut ingatan. Ia hanya bisa membuat garis, aturan, prosedur. Ia hanya bisa memberi ruang untuk benda-benda yang sudah mati, dengan asumsi bahwa yang mati bisa dihidupkan kembali lewat rak kaca, label nama, dan tata cahaya.
Museum, dalam arti tertentu, memang selalu melibatkan kematian. Sebuah keris yang dulu pernah menyalakan perang hanya akan berkilau bisu di balik etalase. Sebuah topeng yang dulu menakutkan desa, kini tinggal wajah kayu di balik lampu sorot.
Kita menonton benda-benda itu dengan kagum, tetapi juga dengan jarak. Kita mungkin merasa berdekatan dengan masa lalu, tetapi yang kita lihat sebenarnya hanyalah fosil. Museum adalah kuburan yang ditata dengan rapi, dan barangkali itulah keindahannya.
Tetapi bukankah setiap bangsa membutuhkan kuburan? Tempat untuk menyimpan yang telah lewat, tempat untuk merawat yang tak lagi hidup, tempat untuk berziarah ke dalam dirinya sendiri.
Maka tak mengherankan bila pemerintah merasa perlu membuat Rancangan Undang-Undang tentang Permuseuman. Benda-benda lama itu bukan sekadar benda: ia adalah legitimasi, ia adalah memori kolektif, ia adalah sesuatu yang bisa dipakai untuk menjelaskan siapa kita. Dan siapa kita, dalam politik, selalu sesuatu yang dipertaruhkan.
Tentu, museum bukan hanya tentang benda. Ia tentang narasi. Tentang bagaimana sebuah bangsa memilih untuk menceritakan dirinya. Tentang apa yang ditampilkan, dan apa yang disembunyikan.
Di sebuah museum di Jakarta, saya pernah melihat diorama peristiwa 1965. Figur-figur lilin dengan wajah kaku berdiri sebagai saksi atas sebuah tragedi. Tapi setiap pengunjung tahu, diorama itu hanyalah sebuah versi. Sebuah ingatan resmi yang dengan sadar menghapus suara-suara lain.
Museum, dengan kata lain, tak pernah netral. Ia adalah tafsir. Ia adalah pilihan. Dan undang-undang yang akan lahir itu, sadar atau tidak, akan menentukan tafsir apa yang lebih berhak bertahan.
Tetapi bisakah ingatan diatur dengan undang-undang?
Sejarah, kata seorang filsuf, adalah medan pertempuran. Museum, pada gilirannya, adalah salah satu medan itu. Setiap vitrin kaca bukan hanya menyimpan keramik, patung, atau manuskrip. Ia juga menyimpan kekuasaan.
Hari Museum Indonesia akan dirayakan 12 Oktober. Kita mungkin akan mendengar pidato, akan melihat pameran. Akan ada janji untuk merawat warisan, melestarikan tradisi. Tapi saya bertanya-tanya: apa artinya museum bagi seorang anak di pelosok desa yang belum pernah sekalipun melangkah ke dalamnya?
Museum di negeri ini seringkali masih menjadi ruang elitis. Bangunan megah di kota besar, dengan koleksi yang hanya dikunjungi oleh pelajar dalam rombongan studi wisata. Bagi sebagian orang, museum adalah ruang asing. Sunyi, dingin, tak bersahabat.
Padahal, bila kita kembali ke akar kata, museum berasal dari mouseion---rumah bagi para Muses, dewi-dewi inspirasi. Ia seharusnya bukan sekadar gudang benda mati, melainkan ruang yang hidup, yang memicu daya cipta.
RUU Permuseuman, bila ingin berarti, harus berbicara juga tentang hal itu. Tentang bagaimana museum bisa hadir sebagai ruang publik, bukan sekadar ruang arsip. Tentang bagaimana ia bisa membuka percakapan, bukan hanya pameran. Tentang bagaimana benda-benda lama itu bisa bicara kepada hari ini, bukan hanya kepada masa silam.
Tetapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: Apakah kita, sebagai bangsa, sungguh-sungguh peduli pada ingatan?
Kita cepat melupakan. Kita sering menyembunyikan. Kita lebih suka memaafkan tanpa benar-benar mengingat. Museum, dengan segala kekurangannya, setidaknya memaksa kita untuk berhenti sejenak. Untuk menatap yang pernah ada, meski dengan jarak, meski dengan tafsir yang timpang.
Mungkin itulah gunanya undang-undang ini: bukan untuk mengatur benda mati, tapi untuk mengingatkan bahwa kita tak bisa hidup hanya dengan masa kini. Bahwa kita membutuhkan ruang untuk menyimpan luka, kemenangan, dan keraguan.
Bahwa sebuah bangsa tanpa museum adalah bangsa tanpa cermin. Dan cermin, betapapun retaknya, tetap diperlukan.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI