Museum, dengan kata lain, tak pernah netral. Ia adalah tafsir. Ia adalah pilihan. Dan undang-undang yang akan lahir itu, sadar atau tidak, akan menentukan tafsir apa yang lebih berhak bertahan.
Tetapi bisakah ingatan diatur dengan undang-undang?
Sejarah, kata seorang filsuf, adalah medan pertempuran. Museum, pada gilirannya, adalah salah satu medan itu. Setiap vitrin kaca bukan hanya menyimpan keramik, patung, atau manuskrip. Ia juga menyimpan kekuasaan.
Hari Museum Indonesia akan dirayakan 12 Oktober. Kita mungkin akan mendengar pidato, akan melihat pameran. Akan ada janji untuk merawat warisan, melestarikan tradisi. Tapi saya bertanya-tanya: apa artinya museum bagi seorang anak di pelosok desa yang belum pernah sekalipun melangkah ke dalamnya?
Museum di negeri ini seringkali masih menjadi ruang elitis. Bangunan megah di kota besar, dengan koleksi yang hanya dikunjungi oleh pelajar dalam rombongan studi wisata. Bagi sebagian orang, museum adalah ruang asing. Sunyi, dingin, tak bersahabat.
Padahal, bila kita kembali ke akar kata, museum berasal dari mouseion---rumah bagi para Muses, dewi-dewi inspirasi. Ia seharusnya bukan sekadar gudang benda mati, melainkan ruang yang hidup, yang memicu daya cipta.
RUU Permuseuman, bila ingin berarti, harus berbicara juga tentang hal itu. Tentang bagaimana museum bisa hadir sebagai ruang publik, bukan sekadar ruang arsip. Tentang bagaimana ia bisa membuka percakapan, bukan hanya pameran. Tentang bagaimana benda-benda lama itu bisa bicara kepada hari ini, bukan hanya kepada masa silam.
Tetapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: Apakah kita, sebagai bangsa, sungguh-sungguh peduli pada ingatan?
Kita cepat melupakan. Kita sering menyembunyikan. Kita lebih suka memaafkan tanpa benar-benar mengingat. Museum, dengan segala kekurangannya, setidaknya memaksa kita untuk berhenti sejenak. Untuk menatap yang pernah ada, meski dengan jarak, meski dengan tafsir yang timpang.
Mungkin itulah gunanya undang-undang ini: bukan untuk mengatur benda mati, tapi untuk mengingatkan bahwa kita tak bisa hidup hanya dengan masa kini. Bahwa kita membutuhkan ruang untuk menyimpan luka, kemenangan, dan keraguan.
Bahwa sebuah bangsa tanpa museum adalah bangsa tanpa cermin. Dan cermin, betapapun retaknya, tetap diperlukan.