"Apakah kitabmu?"
Kitab? Ia ingat Al-Quran itu ada di rak di rumahnya. Al-Quran yang hampir tidak pernah ia buka, kecuali sesekali ketika ia ingin terlihat saleh di hadapan orang lain. Sesekali saat ia ingin menunjukkan betapa taatnya ia. Tapi di dalam hatinya, ia tahu. Ia tidak pernah menempuh jalan itu. Kitab itu hanyalah sebuah benda, bukan petunjuk. Ia tidak pernah mencintai kata-kata itu.
"Di manakah kiblatmu?"
Kiblat? Gunawan tergagap. Ia menatap kosong. Di dunia, ia bisa menipu dengan arah kompas. Bisa saja ia menunjuk arah yang salah, tapi yang penting, ia merasa benar. Di sini, di tempat ini, ia tidak bisa berpura-pura. Kiblat? Ia tidak pernah tahu. Ia selalu menghadap ke arah yang salah, menghadap ke arah uang, ke arah kedudukan, ke arah yang bisa memberi kepuasan sementara.
"Siapakah saudaramu?"
Saudara? Wajah-wajah itu datang, satu per satu. Anak-anaknya yang sudah lama tidak ia hubungi. Istrinya yang selalu mengelus kepala anak-anak mereka, sendirian. Tetangga-tetangganya yang dulu datang meminta tolong, tetapi ia hanya menutup pintu dan pura-pura sibuk. Teman-temannya yang tertawa bersamanya di warung kopi, tetapi ketika mereka membutuhkan bantuan, ia pergi begitu saja.
Dan di atas semuanya, Gunawan merasa ketakutan yang luar biasa. Bukan ketakutan akan hukuman yang akan datang, tetapi ketakutan akan kenyataan---kenyataan bahwa tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, tidak ada lagi yang bisa ia elakkan. Di dunia, ia bisa mengatur semua orang, menipu jaksa, menundukkan mereka yang datang menghadapnya. Tetapi di sini, di hadapan dua malaikat ini, ia tak bisa bersembunyi, tak bisa berkelit. Di sini, tidak ada yang bisa ia atur.
Suara itu datang lagi, lebih lembut, tetapi penuh kuasa:
"Gunawan, jawablah."
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gunawan tidak tahu apa yang harus dijawab. Tidak ada yang bisa ia katakan. Hanya ada keheningan yang memeluknya, keheningan yang lebih menakutkan daripada segala kata yang bisa terucap.
Tiba-tiba, Gunawan merasa tubuhnya seperti terjatuh. Ia jatuh ke dalam kegelapan yang dalam, semakin jauh, semakin jauh, sampai suara itu tak terdengar lagi. Tetapi di dalam jiwanya, rasa takut itu tetap tinggal. Tak bisa hilang. Tak bisa dibuang. Dan malam itu, di alam barzakh, Gunawan terbangun, tidak dengan tubuh, tetapi dengan jiwa yang terikat pada penyesalan, tak bisa dibebaskan lagi.