Mohon tunggu...
Gungde Ananta
Gungde Ananta Mohon Tunggu... Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Memento Vivere.

Selanjutnya

Tutup

Politik

80 Tahun Merdeka: Bung Karno, Marhaenisme dan Nasionalisme Banal

14 Agustus 2025   21:51 Diperbarui: 14 Agustus 2025   22:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era HUT ke-80 Republik Indonesia menampilkan dua wajah yang kontras. Di satu sisi ada kemeriahan upacara dan seruan nasionalisme, tapi di sisi lain banyak anak muda bergulat dengan realitas sehari-hari. Di linimasa media sosial, mulai dari tagar #kaburajadulu, #indonesiagelap hingga pengibaran bendera One Piece menjelang hari kemerdekaan ramai dibicarakan, hal tesebut melambangkan keresahan generasi yang lelah, penasaran, dan dibaluti rasa takut dalam ketidakpastian. Mereka bertanya “Benarkah kita sudah merdeka? Kalau iya, kenapa banyak dari kami merasa belum merdeka?” 

Kenyataan inilah yang menggugah kita untuk melihat lebih jauh. Bukan sebagai sikap kurang cinta tanah air, tagar dan bendera itu sebenarnya sinyal sosial bahwa banyak hak dasar kita sebagai generasi muda seperti pendidikan bermutu, kerja & upah layak, rasa aman, dan layanan publik belum dirasakan merata. Daripada menyalahkan anak muda yang “kabur” mencari kesempatan di luar atau menganggap pemasangan bendera one piece adalah upaya membelah persatuan, seharusnya kita merenung: 80 Tahun Indonesia merdeka, mengapa bangsa yang besar ini sangat sulit untuk berintrospeksi?

Pelarangan #kaburajadulu, #IndonesiaGelap dan Bendera One Piece: Nasionalisme yang Banal

Padahal melarang kritik atau keresahan kaum muda justru menunjukkan nasionalisme yang banal – semacam patriotisme dangkal yang hanya sibuk pada simbol dan seruan tanpa menyentuh akar masalah. Bung Karno mengingatkan bahwa: 

“nasionalisme kita bukanlah nasionalisme  chauvinisme, tetapi solidaritas kebangsaan yang etis dan manusiawi, menghormati bangsa lain dan menolak penjajahan."

Nasionalisme sejati, menurutnya, bukan memusuhi siapapun atau menyensor suara anak bangsa, melainkan membela keadilan dan kebebasan hakiki. Ketika negara melarang tagar pengakuan frustasi anak muda, itu bukan solidaritas; itu menjerat mereka pada narasi palsu. Sebaliknya, semangat Marhaenisme mengajarkan kita bahwa membebaskan rakyat kecil, bukan mengekangnya, adalah tugas berpolitik. Memblokir ruang aspirasi generasi baru hanya membuat nasionalisme kita kering makna — padahal kemerdekaan sejati harus menumbuhkan entitas berpolitik dan moral, bukan mengebiri pertumbuhan mereka.

Bendera One Piece (Sumber: Dok Pribadi)
Bendera One Piece (Sumber: Dok Pribadi)
Misal tagar #IndonesiaGelap yang menimbulkan Gerakan #kaburajadulu. Banyak anak muda saat ini fokus pada kebutuhan bertahan — bukan karena mereka egois, melainkan karena realitas yang keras. Lulusan baru merasakan gaji tak lagi sebanding dengan biaya hidup; kurikulum pendidikan belum nyambung dengan dunia industri; birokrasi perizinan usaha atau beasiswa masih berbelit hingga kasus pelecehan konstitusi dalam bentuk feodalisme secara terang-terangan. Tekanan ekonomi dan sosial seperti ini memaksa mereka untuk berorientasi ke luar negeri atau mencari “jalan bebas” pribadi dulu, sebelum peduli pada isu-isu nasional. Daripada menganggap ini pengkhianatan, kita perlu melihatnya sebagai gejala kegagalan sistemik: apabila ruang tumbuh di dalam negeri disempitkan, wajar bila generasi muda mengekspresikan keinginan kabur ke luar.

Nasionalisme Bermoral ala Marhaenisme Bung Karno

Dalam menghadapi dilema ini, pemikiran Bung Karno menjadi pemandu penting. Soekarno menekankan bahwa politik adalah jalan pembebasan, bukan alat penindasan. Politik sejati harus membebaskan rakyat dari penindasan—kolonialisme, kapitalisme, maupun feodalisme—dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Ia menolak kapitalisme yang tak beretika dan hanya menguntungkan segelintir orang, karena sistem itu mencederai keadilan sosial. 

Bung Karno juga mengingatkan bahwa pemimpin yang sejati adalah yang mengabdi kepada rakyat kecil, hidup sederhana, dan menyatu dengan penderitaan mereka. Prinsip-prinsip Marhaenisme ini menggarisbawahi bahwa keberpihakan pada rakyat kecil dan rasa keadilan adalah inti nasionalisme bermoral. Intisari ajaran Bung Karno ini adalah politik harus dijalankan dengan integritas, gotong royong, dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bukan nasionalisme semu yang hanya diperlihatkan lewat larangan-larangan simbolik. Saat kita mendengarkan semangat Marhaenisme, pelarangan #kaburajadulu terasa janggal: seharusnya kita membongkar penindasan struktural dan menciptakan peluang, bukan mengekang aspirasi.

80 Tahun Indonesia Merdeka, Kita dan (Apalagi) Pemerintah Harus Tetap Reflektif!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun