Mohon tunggu...
Gunadi Kasnowihardjo
Gunadi Kasnowihardjo Mohon Tunggu... PNS -

Sarjana arkeologi, S1 UGM, S2 U.I. tinggal di Yogyakarta dan bekerja di Balai Penelitian Arkeologi Yogyakarta. Saat ini tengah memulai studi tentang arkeologi publik dan manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Candi Kethek: Prototipe Candi Cetho

7 Oktober 2011   03:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:15 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Candi Cetho yang terletak di lereng Barat Gunung Lawu kira - kira 1300 meter dpal. merupakan candi yang unik dan mengagumkan bagi masyarakat awam, akan tetapi  membingungkan bagi para pelajar dan mahasiswa yang mempelajari tentang bangunan peninggalan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Kompleks Candi Cetho yang merupakan bangunan teras berundak memanjang linear mengikuti lereng sebuah bukit adalah kompleks candi bercirikan Hinduistik tidak dapat dipungkiri. Relief yang menggambarkan cerita Sudhamala dan arca kura-kura yang ditemukan di kompleks tersebut bukti adanya unsur yang bersifat hinduistis. Berdasarkan penelitian arkeologi yang dilakukan oleh A.J. Bernet Kempers pada tahun 1928 diketahui bahwa Candi Cetho dibangun pada tahun 1450 an sejaman dengan pembangunan Candi Sukuh. Masa - masa akhir pemerintahan Majapahit beberapa kelompok elit kerajaan Majapahit yang tidak menerima kehadiran budaya Islam mereka menyingkir dan pergi ke tempat - tempat yang aman dari pengaruh budaya Islam. Di lereng - lereng gunung mereka membangun tempat - tempat peribadahan namun akulturasi yang terjadi dengan kepercayaan asli masyarakat setempat, maka terwujudlah candi dengan struktur bangunan berundak. Generasi yang lahir pada tahun 1960 an melihat kompleks Candi Cetho merupakan sebuah kompleks percandian yang terdiri dari bangunan berteras dengan masing-masing teras terdapat sepasang gapura berbentuk candi bentar. Di halaman teras ke 9 hingga teras ke 13 terdapat bangunan ada yang berbentuk gazebo adapula yang berupa bangunan tertutup (rumah kayu). Khusus di halaman teras 13 yang merupakan teras tertinggi ditemukan bangunan berbentuk kubus terbuat dari batu andesit yang melambangkan bangunan pusat. Baik gapura bentar, gazebo, rumah kayu maupun bangunan berbentuk kubus adalah hasil pemugaran yang dilakukan oleh Humardani sekretaris Presiden Soeharto pada tahun 1970 an. Hasil pemugaran yang bersifat permanen tersebut bagi yang tidak memahami sejarah akan dipahami bahwa kompleks Candi Cetho seperti yang mereka lihat saat ini. Secara historis arkeologis kondisi seperti tersebut jelas akan menyesatkan terutama bagi para pelajar dan mahasiswa dan umumnya bagi masyarakat dan wisatawan. Ironis memang, apa yang dilakukan oleh Humardani di kompleks Candi Cetho pada saat itu tidak ada seorangpun yang berani mengharu-biru termasuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bersama jajarannya, walaupun diketahui bahwa perlakukan tersebut jelas-jelas melanggar Monumenten Ordonantie sebuah regulasi tentang peninggalan purbakala produk Belanda yang saat itu masih diakui negara. Terbitnya Undang - Undang No.: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya di era pemerintahan Orde Baru tidak berpengaruh sedikitpun atas kondisi Kompleks Candi Cetho yang tidak jelas konsepnya. Saat ini di era Reformasi dan Undang - Undang No.: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya juga sudah direvisi, adakah upaya untuk meluruskan dan mengembalikan kompleks Candi Cetho ke bentuk dan konsep yang sebenarnya...? Ingat, Candi Cetho adalah termasuk dead monument mengapa bisa dirubah menjadi living monument...? Penemuan Candi Kethek pada tahun 2000 an oleh masyarakat Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah menurut hemat saya merupakan sesuatu yang sangat penting karena dapat dijadikan referensi bentuk Candi Cetho yang asli.  Candi Kethek yang terletak di salah satu bukit yang berbeda dengan lokasi Candi Cetho sebelumnya merupakan salah satu tempat berkumpulnya kera-kera yang ada di lereng barat Gunung Lawu. Bangunan candi yang tertimbun semak belukar dan menjadi "istana" para kera sehingga tidak terjamah oleh aktivitas masyarakat Dusun Cetho dan sekitarnya. Setelah peristiwa kebakaran hutan tahun 1999 gerombolan kera penghuni lokasi tersebut berpindah tempat. Sejak saat itu pula lokasi yang dahulu sebagai istana kera mulai dijamah oleh para pencari kayu bakar. Sukimin salah seorang warga Dusun Cetho yang juga sebagai juru pelihara Candi Cetho curiga dan penasaran dengan lokasi yang tertimbun semak belukar. Setelah diamati ternyata sebuah struktur batu, kemudian semak belukar dibersihkan sedikit demi sedikit ternyata sebuah bangunan berundak. Sampai sekarang belum ada penelitian arkeologi di Candi Kethek ini, dari hasil peninjauan saya pada tanggal 1 Oktober 2011 yang lalu diketahui bahwa pada halaman teras paling atas Candi Kethek telah ditempatkan bangunan semi permanen. Penempatan bangunan tersebut dilakukan pada saat masyarakat Dusun Cetho yang mayoritas beragama Hindu melangsungkan upacara keagamaan mereka. Hal seperti ini merupakan awal yang tidak kondusif bagi pelestarian bangunan cagar budaya. Penemuan Candi Kethek yang semestinya akan dapat dijadikan acuan dalam upaya mengembalikan dan melestarikan Candi Cetho ke bentuk semula, jangan sampai terbalik dalam pemanfaatan Candi Kethek akan diperlakukan penambahan dan pembangunan komponen baru seperti yag dilakukan oleh Humardani di Candi Cetho. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  Candi Kethek adalah prototipe Candi Cetho, oleh karena itu sudah saatnya Candi Cetho ditata kembali ke bentuk yang asli. Permasalahan - permasalahan politis yang dahulu sangat kental  yang seolah - olah tak terjamah, mari kita cairkan bersama - sama. Demikian pula dalam upaya pelestarian Candi Kethek jangan sampai apa yang terjadi di Candi Cetho terulang kembali. Apabila masyarakat Dusun Cetho khususnya dan penganut agama Hindu pada umumnya akan melakukan upacara keagamaan mereka dapat membangun tempat - tempat ibadah seperti Pura Saraswati yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar, Bali atas ijin Bupati Karanganyar Rina Iriani.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun