Mohon tunggu...
Guid Cardi
Guid Cardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumni Fisip Universitas Sriwijaya Palembang

Pegiat Kepemiluan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Partisipasi atau Mobilisasi: Catatan Pinggir dari Pemilu Serentak 2019

17 Juni 2019   17:00 Diperbarui: 17 Juni 2019   17:28 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, penjelasan perilaku seperti ini haruslah di dukung dengan data yang akurat, Penyelenggara Pemilu tentulah tidak  dapat memaksakan Pemilih untuk hadir di TPS-TPS, paling hanya persuasi atau sosialisasi atau mengajak ataupun menghimbau saja. Ketidakhadiran yang disebabkan karena alasan teknis, tentunya penyelenggara pemilu berupaya semaksimal mungkin agar dalam tahapan distribusi kartu pemilih atau Pemberitahuan  dan undangan pemilih sampai ke pemilih yang bersangkutan sehingga bermanfaat bagi pemilih.

Masih Tingginya ketidakhadiran pemilih seperti itu, dari sisi keuangan negara ini dapat dipandang sebagai aktivitas yang merugikan keuangan negara.  Katakanlah 18,03 % pemilih yang tidak hadir di TPS dan tidak menggunakan haknya, maka pemilih tersebut telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 18,03 % dari anggaran Pemilu. Padahal penyelenggara Pemilu dan Pemerintah menyiapkan anggaran penyelenggaraan Pemilu untuk seluruh warga negara yang berhak memilih sesuai Daftar Pemilih Tetapnya.

Namun demikian Sebagai perbandingannya saja, di Amerika Serikat, sebagai negara dengan klaim negara paling demokratis di dunia,  negara super power dan negara maju, persentase orang atau warga negara yang tidak memberikan suara bertambah dari 21 % pada tahun 1896, menjadi 32,3% pada tahun 1968, 40,8% pada tahun 1976 dan 53 % pada tahun 1990, (Miriam Budiardjo,1998).  Maka, bandingkan dengan NKRI, yang baru menggelar pemilu sejak tahun 1955 hingga 2019. 

Kalaulah Pemilu dalam kontekstualnya sebagai proses pengambilan Keputusan yang melibatkan warga negara, orang atau pemilih yang  tidak hadir pada hari dan tanggal pemungutan suara (pencoblosan), kelompok ini layaknya disebut sebagai kelompok apatis (B.N Marbun,2007) atau kaum apatisan atau apolitis (Miriam Budiardjo,1998) , Oleh karena bersikap acuh tak acuh, atau tidak peduli sama sekali, dengan memilih untuk tidak hadir pada pemilihan umum, namun dengan konsekuensi harus menerima dan mengikuti suara pemenangnya. Tentunya  hal ini bukanlah suatu perilaku politik yang diharamkan dalam Negara merdeka yang menganut demokrasi sebagai sistem politiknya, dengan pemahaman bahwa memilih pada pemilihan umum adalah hak asasi politik warga negara  bukan kewajiban, termasuk memilih untuk hadir ataupun tidak hadir di TPS-TPS.

Partisipasi atau Mobilisasi 

Istilah Partisipasi dan Mobilisasi dalam politik (Pemilu) digambarkan dengan sangat jelas oleh Prof. Miriam Budiardjo (1998) dalam bukunya ” Partisipasi dan Partai Politik”  dan Profesor. M. Dawam Rahardjo (1996), dalam bukunya“ sistem Pemilu: Demokratisasi dan Pembangunan”, dengan satu pemaknaan yang membedakan keduanya bahwa adanya keterlibatan aktif warga negara secara sadar atau tidak sadar dalam proses-proses  demokrasi—pemilu, dan dengan atau tanpa paksaan.


Dalam Negara yang menganut demokrasi sebagai sistem poltiknya, Partisipasi warga Negara dalam Pemilu tentu dipandang sebagai serangkaian aktivitas warga negara untuk aktif terlibat secara sadar tanpa paksaan dalam proes-proses demokrasi (baca Pemilu). Sebaliknya, Mobilisasi meskipun dianggap sebagai keterlibatan warga negara dalam proses-proses Politik (baca: Pemilu) , akan tetapi lebih mengedepankan aktivitas penguasa (pemerintah) secara memaksa atau intervensif dan terencana sebagaimana dilakukan oleh pemerintah untuk menghimpun seluruh kekuatan untuk digunakan menghadapi perang-permusuhan (BN. Marbun,2007).

 Partisiasi Politik yang paling mudah untuk mengukurnya adalah dengan melihat angka keterlibatan warga negara dalam aktivitas pemungutan suara di tempat-tempat pemungutan suara. Lantas, dengan angka kehadiran pemilih (warga Negara) pada Pemilu 2019 secara nasional yang hanya mencapai 81,97%  dan secara local Bangka Belitung yang mencapai 86,52 % dapatkah dianggap sebagai aktivitas Partisipasi politik aktif warga Negara atau aktivitas mobiliasi politik dari pemerintah-penguasa.

Angka Partisipasi 81,97 % ini tidak lah terlalu buruk, jika dibandingan dengan dengan klaim negara paling demokratis di dunia,  negara super power dan negara maju, dimana persentase orang atau warga negara yang tidak memberikan suara bertambah dari 21 % pada tahun 1896, menjadi 32,3% pada tahun 1968, 40,8% pada tahun 1976 dan 53 % pada tahun 1990, (Miriam Budiardjo,1998).  Setidaknya hal ini mencerminkan tiga hal penting yaitu, Pertama, 81,97% Pemilih ( warga Negara Dewasa) masih mempercayai dengan sistem politik demokrasi (baca: Pemilu). Hal ini dapat dilihat pula dari tidak banyaknya keberatan/perlawanan terhadap norma/aturan yang ditetapkan dengan melalui uji terhadap aturan Penyelenggaraan Pemilu. Dalam catatan Penulis, ada beberapa Uji materi peraturan perundang-undangan yang sempat dilakukan oleh warga Negara (pemilih) antara lain, terkait UU Nomor 7 tahun 2017 berkenaan dengan penyelenggara Pemilu terkait Jumlah Anggota KPU KAbupaten/Kota, Anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota; uji materi terkait persyaratan pindah memilih bagi pemilih yang tidak bisa memilih di TPS asal sesuai tempat tinggal Pemilih, serta Uji materi Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait persyaratan yang membatasi Partai politik dan Calon yang pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini juga menggambarkan bahwa aturan yang telah ditetapkan memberikan kepercayaan kepada pemilih dan peserta untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalamnya.

Kedua, 81,97% pemilih, menaruh kepercayaan kepada Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu yang Profesional, akuntabel, berintegeritas dan lain sebagainya yang memenuhi ekspektasi Pemilih, tentu memberikan kepercayaan kepada Pemilih bahwa hak-hak politiknya dapat terlayani secara maksimal oleh penyelenggaranya. Hal inipun kemudian menjadi penyemangat bagi penyelenggara pemilu (KPU) dengan Tagline, KPU Melayani.

 Ketiga, 81,97 % Pemilih percaya dengan hasil—output pemilu. Hasil Pemilu, tidak semestinya hanya menganggap bahwa Pasangan calon tertentu atau Parpol  dan calon mendapat perolehan sejumlah suara atau kursi,  Akan tetapi serangkaian hasil—output yang dihasilkan oleh proses-proses tahapan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Daftar  pemilih Tetap, daftar Calon Tetap Presiden dan Wakil Presiden—Partai politik peserta pemilu—Daftar Calon Tetap anggota DPD, DPR dan DPRD,  adalah output yang dihasilkan dalam serangkaian aktivitas penyelanggaraan pemilu. Penting juga dalam hal ini adalah, penegakan norma-aturan penyelenggaraan oleh Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), karena hal ini akan memberikan dampak semakin menguatnya kepercayaan pemilih kepada sistem penyelenggaraan pemilu dan kepada penyelenggaranya, disamping hadirnya para kandidat (calon) yang memenuhi harapan public-pemilih.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun